do not piracy!

do not piracy!
this blog is my creativity

Sabtu, 06 Mei 2017

novela : remake - pernikahan kedua (6)

Menjagamu adalah tanggung jawabku, dan aku melakukannya karena itu perintah-Nya.


Kehamilan pertama ini, aku dilimpahi banyak kemudahan. Tidak ada mual-mual yang serius, tidak ada rasa malas yang memaksaku harus tidur berlama-lama, bahkan aku tidak ‘ngidam’ sesuatu yang sangat penting. Kebutuhan dasar terpenuhi, dan kesenangan hati lebih dari cukup.

Yang banyak berubah adalah, Mas Rindang mulai rajin menanamkan bibit-bibit ketaatan. Hampir tidak pernah absen dia membangunkanku shalat subuh, dan kami bersujud bersama. Di waktu istirahatnya, dia memelukku, sambil mengulang hafalan-hafalan ayatnya yang panjang. Saat sebelum tidur, dibisikkannya doa-doa pada janin di perutku. Dan aku mulai menemukan jalanku.

Aku mencatat bayak hal penting kemudiannya, saat kehamilanku memasuki minggu ke-20, Mas Rindang menerima sebuah project besar.
“Mereka minta aku yang pimpin.” Dia berbisik, wajahnya tampak tidak terlalu senang.
“Lalu, kenapa?” Aku meraih wajahnya, dia berusaha tersenyum.
“Kalau aku ambil, aku harus pergi beberapa bulan. Dan itu mendekati masa kamu melahirkan.” Ada hantaman keras di dadaku, tapi aku masih mencoba menahan.
“Menurut pertimbangan Mas, apa kesempatan yang sama akan datang dua kali?” Dia menggeleng.
“Ini project terakhir tahun ini. Dan aku berencana untuk resign tahun depan. Aku rasa aku akan butuh project ini untuk melengkapi porto folioku.” Dia menjelaskan tanpa merubah nada bicaranya.
“Kalau Mas rasa ini penting buat karir Mas kedepan, aku akan berusaha. Aku akan berusaha untuk sabar menunggu Mas. Aku dukung apapun keputusan yang Mas ambil.”

Mas Rindang memelukku, aku menahan tangisku. Sekali ini saja, aku berjuang. Aku ingin yang terbaik untuknya kedepan. Untuk kami di masa depan.


.


Sebuah pilot project, pengembangan kota Satelit di Papua Barat. Dan sepuluh minggu pertama, Mas Rindang menghabiskan banyak waktu untuk merancangnya. Beberapa asisten sering datang untuk kerja lembur di flat kami. Aku menghabiskan lebih banyak waktu di dapur atau pergi ke kelas yoga untuk menjaga kehamilanku tetap sehat.

Saat pemeriksaan kehamilanku memasuki minggu ke-31, Mas Rindang tampak jadi semakin antusias. Walau gurat khawatir tergambar diwajahnya, saat aku menatapnya, dia selalu berusaha untuk tetap tersenyum.


.

“Aku pergi agak lama, bagaimana kalau kamu pulang ke rumah mama saja?” Mas Rindang berusaha menawarkan sebuah pilihan.
“Menurut baiknya Mas aja. Aku manut.” Kusandarkan kepalaku dadanya, mendengarkan detak jantungnya, menyelaraskannya dengan detak jantungku.
“Kita berangkat sama-sama saja. Minggu depan aku terbang ke Papua, kamu pulang ke rumah mama.” Dia mengecup keningku, dan kujawab dengan senyuman.
Ternyata aku harus mengurus beberapa surat untuk bisa melakukan penerbangan saat sedang masa hamil. Rekomendasi dokter dan izin administrasi ini itu. Mau tidak mau harus aku selesaikan sendiri, Mas Rindang terlalu sibuk.

Hari itu datang, Mas Rindang harus berangkat. Penerbangannya dini hari. Dan aku pagi. Singapore – Surabaya. Tiket sudah ditangan, Mas Rindang sudah berangkat. Tapi mendadak aku merasakan sakit di perutku. Aku tau, ini kontraksi palsu. Setelah menelpon dokter, dan dia menyarankan aku membatalkan penerbanganku. Ada sedikit ngilu di dada, antara sedih dan marah yang bercampur dan tertahan karena aku merasa semua rencana ini jadi tidak seperti yang aku mau.
Malamnya Mas Rindang telpon.

“Maaf, Mas.” Aku tak sanggup menyembunyikan sedihku.
“Tidak apa-apa. Semua yang terbaik itu ada dalam rencana Allah.” Dan aku merasa jadi sangat cengeng setiap kali mendengar nasihat Mas Rindang dengan suara lembutnya yang menenangkanku.
“Kalau kata Allah yang terbaik kamu melahirkan di Singapore, kita tidak akan bisa melawannya. Aku akan usahakan kembali segera. Tapi sebaiknya kamu juga telpon mama dan minta tolong temani mama sampai aku datang.”
Obrolan panjang, dan kalimat-kalimat yang menguatkanku. Aku masih akan tetap berusaha, bertahan dalam penantian.
“Segala yang bisa kita usahakan, wajib kita usahakan. Termasuk menjaga kamu. Selebihnya, berpasrahlah.”
Dan malam itu aku terlelap dengan lelap. Sejenak khawatirku lepas dari dada.

(bersambung)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar