Menjagamu adalah tanggung jawabku, dan aku melakukannya
karena itu perintah-Nya.
Kehamilan pertama ini, aku dilimpahi banyak kemudahan. Tidak
ada mual-mual yang serius, tidak ada rasa malas yang memaksaku harus tidur
berlama-lama, bahkan aku tidak ‘ngidam’ sesuatu yang sangat penting. Kebutuhan
dasar terpenuhi, dan kesenangan hati lebih dari cukup.
Yang banyak berubah adalah, Mas Rindang mulai rajin
menanamkan bibit-bibit ketaatan. Hampir tidak pernah absen dia membangunkanku
shalat subuh, dan kami bersujud bersama. Di waktu istirahatnya, dia memelukku,
sambil mengulang hafalan-hafalan ayatnya yang panjang. Saat sebelum tidur,
dibisikkannya doa-doa pada janin di perutku. Dan aku mulai menemukan jalanku.
Aku mencatat bayak hal penting kemudiannya, saat kehamilanku
memasuki minggu ke-20, Mas Rindang menerima sebuah project besar.
“Mereka minta aku yang pimpin.” Dia berbisik, wajahnya tampak tidak terlalu senang.
“Lalu, kenapa?” Aku meraih wajahnya, dia berusaha tersenyum.
“Kalau aku ambil, aku harus pergi beberapa bulan. Dan itu mendekati masa kamu melahirkan.” Ada hantaman keras di dadaku, tapi aku masih mencoba menahan.
“Menurut pertimbangan Mas, apa kesempatan yang sama akan
datang dua kali?” Dia menggeleng.
“Ini project terakhir tahun ini. Dan aku berencana untuk resign tahun depan. Aku rasa aku akan butuh project ini untuk melengkapi porto folioku.” Dia menjelaskan tanpa merubah nada bicaranya.
“Kalau Mas rasa ini penting buat karir Mas kedepan, aku akan
berusaha. Aku akan berusaha untuk sabar menunggu Mas. Aku dukung apapun
keputusan yang Mas ambil.”
Mas Rindang memelukku, aku menahan tangisku. Sekali ini
saja, aku berjuang. Aku ingin yang terbaik untuknya kedepan. Untuk kami di masa
depan.
.
Sebuah pilot project, pengembangan kota Satelit di Papua
Barat. Dan sepuluh minggu pertama, Mas Rindang menghabiskan banyak waktu untuk
merancangnya. Beberapa asisten sering datang untuk kerja lembur di flat kami.
Aku menghabiskan lebih banyak waktu di dapur atau pergi ke kelas yoga untuk
menjaga kehamilanku tetap sehat.
Saat pemeriksaan kehamilanku memasuki minggu ke-31, Mas
Rindang tampak jadi semakin antusias. Walau gurat khawatir tergambar
diwajahnya, saat aku menatapnya, dia selalu berusaha untuk tetap tersenyum.
.
“Aku pergi agak lama, bagaimana kalau kamu pulang ke rumah mama saja?” Mas Rindang berusaha menawarkan sebuah pilihan.
“Menurut baiknya Mas aja. Aku manut.” Kusandarkan kepalaku
dadanya, mendengarkan detak jantungnya, menyelaraskannya dengan detak
jantungku.
“Kita berangkat sama-sama saja. Minggu depan aku terbang ke Papua, kamu pulang ke rumah mama.” Dia mengecup keningku, dan kujawab dengan senyuman.
Ternyata aku harus mengurus beberapa surat untuk bisa
melakukan penerbangan saat sedang masa hamil. Rekomendasi dokter dan izin
administrasi ini itu. Mau tidak mau harus aku selesaikan sendiri, Mas Rindang
terlalu sibuk.
Hari itu datang, Mas Rindang harus berangkat. Penerbangannya
dini hari. Dan aku pagi. Singapore – Surabaya. Tiket sudah ditangan, Mas
Rindang sudah berangkat. Tapi mendadak aku merasakan sakit di perutku. Aku tau,
ini kontraksi palsu. Setelah menelpon dokter, dan dia menyarankan aku membatalkan
penerbanganku. Ada sedikit ngilu di dada, antara sedih dan marah yang bercampur
dan tertahan karena aku merasa semua rencana ini jadi tidak seperti yang aku
mau.
Malamnya Mas Rindang telpon.
“Maaf, Mas.” Aku tak sanggup menyembunyikan sedihku.
“Tidak apa-apa. Semua yang terbaik itu ada dalam rencana Allah.” Dan aku merasa jadi sangat cengeng setiap kali mendengar nasihat Mas Rindang dengan suara lembutnya yang menenangkanku.
“Kalau kata Allah yang terbaik kamu melahirkan di Singapore, kita tidak akan bisa melawannya. Aku akan usahakan kembali segera. Tapi sebaiknya kamu juga telpon mama dan minta tolong temani mama sampai aku datang.”
Obrolan panjang, dan kalimat-kalimat yang menguatkanku. Aku masih
akan tetap berusaha, bertahan dalam penantian.
“Segala yang bisa kita usahakan, wajib kita usahakan. Termasuk menjaga kamu. Selebihnya, berpasrahlah.”
Dan malam itu aku terlelap dengan lelap. Sejenak khawatirku
lepas dari dada.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar