Setiap kehidupan ada batasannya, masa dimulai dan masa
berakhir. Kita bersama saat berada diantara dua masa itu, lewat dari itu kita
harus jalani semuanya sendiri …
Lewat satu minggu dari hari perkiraan lahir yang dihitung
dokter, mendadak aku merasakan mulas yang tak berhenti sejak selesai sarapan.
Saat kekamar mandi untuk buang air, aku menemukan flek merah. Dan segera aku
bereskan semua perlengkapanku, dua tas. Lalu menelpon taksi.
Pertama aku menelpon rumah sakit, menghubungi dokterku. Lalu
menelpon mama, ternyata pesawat mama masih harus transit di Jakarta. Aku salah
menunda kedatangan mama, karena aku masih berharap Mas Rindang akan segera
pulang. Terakhir aku mencoba menelpon Mas Rindang, tidak ada jawaban. Ku
tinggalkan beberapa pesan singkat, berharap dia tidak khawatir jika aku tidak
mengangkat telpon.
Ruang penerimaan pasien, wajah perawatnya sedikit kaget,
karena aku datang sendiri tanpa pendamping. Namun dokterku sudah tau kondisiku,
terakhir dia memintaku menandatangani surat kuasa. Selepasnya aku diistirahatkan
dan mulai menghadapi persiapan bersalin.
Cukup lama ternyata, dan kudengar suara mama didepan pintu
ruang bersalin. Sedikit tergopoh, tapi masih juga perempuan tangguh itu
berusaha tersenyum. Dia memelukku dengan tangan kurusnya, mengecup dahiku dan menciumi
kepalaku.
"Sebentar lagi, Bu. Setengah jam yang lalu sudah hampir
lengkap."
Aku mengikuti arahan dokter, tiga tarikan nafas panjang,
tulang-tulang punggungku saling mengetuk. Dan kusadari remuk ditubuh ini
mendadak lenyap saat suara tangis itu memecah hening.
.
Malam yang gelap dan hening, aku masih belum menerima kabar
dari Mas Rindang. Sudah dua kali 24 jam aku tidak mendengar suaranya. Entah apa
yang membuatnya sangat sibuk hingga tak bisa menjawab telpon atau tidak sempet
menelpon balik. Aku membisikkan doa panjang, berharap tidak ada hal buruk
terjadi diseberang sana. Lelah yang megalahkanku, aku terlelap hingga pagi.
Mama membantuku membersihkan badan, setelah itu bayi kecilku
mulai terbiasa menikmati asupan gizinya. Mama membantuku menambah kekuatan
fisikku, setengah memaksa menyuapkan beberapa sendok makanan ke mulutku yang terasa pahit sepanjang waktu.
Kami hanya berusaha menikmati kebersamaan, walau khawatir
mama tampak, tapi aku tidak menanyakannya.
Saat bayiku terlelap, seorang perawat datang dengan sebuket
mawar merah. Sebuah kartu ucapan selamat tersemat, dan aku mengenali tulisan tangan
Mas Rindang, mengucapkan selamat. Tapi entah kenapa mendadak aku tidak bisa
menahan air mataku untuk tumpah.
Aku menatap wajah mama dengan mata basah, aku tahu mama
menyimpan sesuatu dan aku tidak boleh tau.
Perawat membawa bayiku, lalu mama mengajakku keluar kamar.
Aku duduk di kursi roda, mama mengantarku menemui dokter Han.
Doker Han adalah salah satu dari direksi rumah sakit tempat
aku dirawat, beliau satu dari sekian banyak klien Mas Rindang di Singapore, beberapa kali kami selalu menemui dokter Han jika aku dan mas Rindang berkunjung ke rumah sakit ini. Kali ini beliau menyodorkan sebuah amplop coklat.
“Maafkan saya, karena ini permintaan Rindang.” Wajahnya tidak menggambarkan ekspresi apapun yang bisa aku terjemahkan sekarang.
Aku membuka amplop itu. Sebuah surat pernyataan. Kematian.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar