do not piracy!

do not piracy!
this blog is my creativity

Minggu, 07 Mei 2017

novela : remake - pernikahan kedua (7)

Setiap kehidupan ada batasannya, masa dimulai dan masa berakhir. Kita bersama saat berada diantara dua masa itu, lewat dari itu kita harus jalani semuanya sendiri …


Lewat satu minggu dari hari perkiraan lahir yang dihitung dokter, mendadak aku merasakan mulas yang tak berhenti sejak selesai sarapan. Saat kekamar mandi untuk buang air, aku menemukan flek merah. Dan segera aku bereskan semua perlengkapanku, dua tas. Lalu menelpon taksi.

Pertama aku menelpon rumah sakit, menghubungi dokterku. Lalu menelpon mama, ternyata pesawat mama masih harus transit di Jakarta. Aku salah menunda kedatangan mama, karena aku masih berharap Mas Rindang akan segera pulang. Terakhir aku mencoba menelpon Mas Rindang, tidak ada jawaban. Ku tinggalkan beberapa pesan singkat, berharap dia tidak khawatir jika aku tidak mengangkat telpon.

Ruang penerimaan pasien, wajah perawatnya sedikit kaget, karena aku datang sendiri tanpa pendamping. Namun dokterku sudah tau kondisiku, terakhir dia memintaku menandatangani surat kuasa. Selepasnya aku diistirahatkan dan mulai menghadapi persiapan bersalin.

Cukup lama ternyata, dan kudengar suara mama didepan pintu ruang bersalin. Sedikit tergopoh, tapi masih juga perempuan tangguh itu berusaha tersenyum. Dia memelukku dengan tangan kurusnya, mengecup dahiku dan menciumi kepalaku.

"Sebentar lagi, Bu. Setengah jam yang lalu sudah hampir lengkap."
Aku mengikuti arahan dokter, tiga tarikan nafas panjang, tulang-tulang punggungku saling mengetuk. Dan kusadari remuk ditubuh ini mendadak lenyap saat suara tangis itu memecah hening.

.

Malam yang gelap dan hening, aku masih belum menerima kabar dari Mas Rindang. Sudah dua kali 24 jam aku tidak mendengar suaranya. Entah apa yang membuatnya sangat sibuk hingga tak bisa menjawab telpon atau tidak sempet menelpon balik. Aku membisikkan doa panjang, berharap tidak ada hal buruk terjadi diseberang sana. Lelah yang megalahkanku, aku terlelap hingga pagi.

Mama membantuku membersihkan badan, setelah itu bayi kecilku mulai terbiasa menikmati asupan gizinya. Mama membantuku menambah kekuatan fisikku, setengah memaksa menyuapkan beberapa sendok makanan ke mulutku yang terasa pahit sepanjang waktu.

Kami hanya berusaha menikmati kebersamaan, walau khawatir mama tampak, tapi aku tidak menanyakannya.

Saat bayiku terlelap, seorang perawat datang dengan sebuket mawar merah. Sebuah kartu ucapan selamat tersemat, dan aku mengenali tulisan tangan Mas Rindang, mengucapkan selamat. Tapi entah kenapa mendadak aku tidak bisa menahan air mataku untuk tumpah.

Aku menatap wajah mama dengan mata basah, aku tahu mama menyimpan sesuatu dan aku tidak boleh tau.

Perawat membawa bayiku, lalu mama mengajakku keluar kamar. Aku duduk di kursi roda, mama mengantarku menemui dokter Han.

Doker Han adalah salah satu dari direksi rumah sakit tempat aku dirawat, beliau satu dari sekian banyak klien Mas Rindang di Singapore, beberapa kali kami selalu menemui dokter Han jika aku dan mas Rindang berkunjung ke rumah sakit ini. Kali ini beliau menyodorkan sebuah amplop coklat.

“Maafkan saya, karena ini permintaan Rindang.” Wajahnya tidak menggambarkan ekspresi apapun yang bisa aku terjemahkan sekarang.


Aku membuka amplop itu. Sebuah surat pernyataan. Kematian.

(bersambung)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar