Dia sahabatku, walau katanya tak ada laki-laki dan perempuan
yang bersahabat …
Berada dalam lingkaran yang sama sejak sekolah dasar hingga
hari ini, membuatku tau apa alasan terbaik aku mencintai Syaamil.
Sekalipun itu
tidak bisa aku katakan pada semua orang, tapi Ida tau. Dan itu sudah lebih dari
cukup.
Ida sendiri mulai berteman denganku setelah SMP, hanya tau
sama tau aja. Dan setelah SMA, Ida sempat bertanya apa aku pacaran dengan
Syaamil. Aku berbisik padanya, “Jangan ditanya ke Syaamil, dia taunya aku cuma
mau sahabatan aja sama dia.”
Kalau tidak termasuk dalam kriteria ‘pacar idaman’, Syaamil
mungkin bisa dimasukkan dalam kategori Suami idaman, atau anak laki-laki
pujaan. Hanya saja, kerendahan hati-nya membuatku harus mengubur semua pujian
ketika ada dihadapannya. Dia sangat sabar, pengertian, dan bahkan tidak
menunjukkan ekspresi marahnya dengan berkobar-kobar. Jika marahnya itu api, api
itu dingin. Dan aku tetap tidak akan menyentuhnya.
Kalau aku ceritakan tentang bagaimana awal kami bersahabat,
itu konyol. Tapi yang terpenting dari cerita ini adalah saat aku mengatakan pada Syaamil
tentang perasaanku padanya. Saat itu hampir ulang tahunku ke-20, dan lebih lima
tahun hanya berteman-baik rasanya tidak memuaskan bagiku. Aku mengiriminya
sebuah pesan, kalau aku ingin bertemu dengannya di toko buku tempat kami biasa
‘hang-out’ bersama.
Aku ingat, Ida tidak jadi menemaniku hari itu, dia mendadak
sakit perut. Usai belanja buku, selepas shalat dhuhur di teras masjid besar itu
aku bicara jujur padanya.
“Kamu sudah ada rencana, kapan lulus, menikah, jadi
pengusaha?” Tanyaku.
“Itu rencana jangka panjang, kalau ada kesempatan, aku mau lanjut kuliah dulu.” Dia menatap langit siang. Sepertinya dia sudah tau kemana maksud pertanyaanku.
“Kamu sendiri?”
“Kalau ada yang melamar, mungkin aku tidak akan menunda
untuk menikah.” Ia melirikku dan tersenyum simpul.
“Perempuan itu lebih baik apa kata orang tuanya aja. Begitu
kata mamaku.”
“Tapi kamu masih punya cita-cita, kan?”
“Tentu saja.” Aku memotongnya cepat. “Paling tidak magang
dulu lah di konsultan. Jakarta, Bandung, kalau bisa malah ke Singapore atau
Malaysia.” Aku punya impian besar untuk masa depanku.
“Bagus, tuh.”
“Tapi lebih menyenangkan kalau persahabatan ini gak putus,
walau kita nanti bakal berjauhan.”
Dia menatapku, tersenyum. Tapi aku tidak bisa menebak apa
jawabannya. Cukup lama dia terdiam, hingga penjelasan itu terucap …
“Laki-laki dan perempuan itu tidak bersahabat, mereka hanya teman baik. Dan begitu juga kita. Aku bukan sahabatmu, aku hanya teman baikmu. Kalau laki-laki dan perempuan bersahabat, itu setelah mereka ada di pelaminan, menikah dan tidur seranjang, mereka pasti bersahabat baik, memiliki anak-anak hasil persahabatan, dan karena itu kita bukan sahabat.”
Dan aku merasa ditusuk tepat di jantungku.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar