Jangan menyalahkan keadaan, berjuanglah keluar dari
masalahmu, hiduplah dalam kebahagiaan selamanya.
Air mataku tumpah ruah, sesaat terhenti, namun kembali lagi
berurai. Hampir tidak ada jeda untuk sekedar menguatkan hati, bahwa kenyataan
yang aku hadapi kali ini adalah yang sangat tidak pernah aku perkirakan
sebelum-sebelumnya. Melahirkan, dan mendapat berita kematian dalam 24 jam?
Seringnya aku berusaha percaya, bahwa Tuhan Maha Adil. Mas
Rindang yang hadir dalam kehidupanku adalah karena aku memang harus bertemu
orang yang bisa menerima ke-egoisanku. Aku belajar menerima semua ketulusannya itu
dengan proses yang cukup panjang. Dan saat aku benar-benar meyakini Mas Rindang
yang terbaik untukku dan masa depanku? Tuhan begitu saja mengambilnya.
Kalau mau dibilang bodoh, aku memang bodoh. Mencintai satu
orang yang sama bertahun-tahun, tapi orang itu tidak mencintaiku. Namun saat
ada yang mencintaiku, aku menganggap itu biasa saja, tidak terlalu istimewa.
Air mataku menggenang lagi, namun yang berikutnya bergulir
dalam memoriku adalah segala keceriaan yang dihadiahkan Mas Rindang sejak
pernikahan kami.
“Kamu tau, apa yang istimewa dari goresan sketsamu?” Wajahnya tampak serius menilai hasil gambarku.
“Nggak.” Jawabku singkat.
“Kamu hampir tidak pernah memutus garis. Satu garis tegas yang pasti.” Jelasnya sambil mengerling padaku.
“Artinya?” Aku tau dia akan menggodaku, tapi aku tetap
berusaha jaim dihadapannya.
“Setiap pilihan yang kamu ambil itu, kamu sudah tau kemana tujuannya. Seperti pilihan kamu buat menikah dengan aku.” Dia menyunggingkan senyuman khasnya.
“Oh, ya?” Aku menahan tawaku, sakit perut, sekaligus rasa
geli dengan ekspresinya yang lucu.
“Loh, iya. Kan aku ganteng. Makanya kamu gak nolak aku. Iya, kan.” Berikutnya dia merasa kalah karena tak berhasil menggodaku. Namun tawaku mendadak lepas karena wajah pura-pura sedihnya yang sangat lucu.
Kalau mau tidak bisa dibilang lucu, mungkin lebih tepatnya
menggemaskan. Karena sebenarnya ekspresi wajah Mas Rindang itu selalu tidak pas
dengan moment. Seringnya saat orang tertawa karena hal lucu, dia hanya
senyum-senyum datar. Saat orang lagi berfikir keras, dia malah nyengir-nyengir
seperti mentertawakan sesuatu.
Bahkan pernah sekali, waktu dia masih
mendampingiku mengerjakan thesis, aku pikir dia sedang marah, wajahnya tampak
merah dan dahinya berkerut. Namun mendadak dia memuji pekerjaanku. Apa yang
salah waktu itu? Saat aku menanyakannya lagi, dia bilang saat itu dia sedang
berusaha menahan diri agar tidak salah tingkah dihadapanku.
Air mataku tumpah lagi, dan aku mengabaikan tangis bayiku
kali ini. Seorang perawat datang untuk mengontrol aku dan bayiku.
“Mam, bayinya saya bawa ke ruang rawat dulu, ya.” Dia
meminta izin. Aku hanya mengangguk lemah.
Aku tidak tau, apa alasan Mas Rindang meminta kematiannya
tidak dikabarkan padaku. Dan kemarahanku berlipat-lipat karena ternyata mama
sudah tau sejak seminggu yang lalu kalau Mas Rindang sakit. Dan aku? Bagaimana
aku akan membesarkan anakku setelah aku kehilangan seseorang yang sangat aku
harapkan?
Malam itu mama memelukku hingga terlelap, sambil mengusap
kepala dan punggungku aku mendengarkan cerita hidup dan nasihat mama.
“Lys, mama tau, kamu sangat kuat. Kamu sangat hebat. Kita
hidup bukan hanya karena satu orang, nak. Kita hidup dengan banyak alasan,
banyak sebab, dan karena ada banyak orang disekitaran kita.” Helaan nafas mama
menenangkanku.
“Jangan menyalahkan keadaan, berjuanglah keluar dari
masalahmu, hiduplah dalam kebahagiaan selamanya. Karena kamu adalah pahlawan
bagi anakmu kelak, karena kamu sudah punya lebih dari cukup kekuatan untuk bisa
berdiri dan melangkah menghadapi masa depanmu.”
“Apapun yang suamimu lakukan, itu semua karena dia percaya
pada kamu. Kamu yang kuat hari ini, akan membuatnya tenang disana.”
Malam itu, aku bermimpi bertemu dengan Mas Rindang, dia
tersenyum padaku, senyuman yang sama seperti yang aku temukan saat aku
terbangun setiap pagi.
“Kamu itu hebat. Karena itu aku selalu percaya. Pilihanku tidak salah. Terimakasih sudah memberiku kesempatan untuk mencintai kamu.”
“Terimakasih karena sudah mencintaiku, Mas.”
Dan aku mendapatkan satu kecupan didahiku. Kecupan selamat
tinggal.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar