Aku menerimamu, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu.
Aku duduk di kursi roda, Syaamil mendorongku setengah
tergopoh. Beberapa perawat menyambut, membantuku untuk dibantu ke ruang
persiapan persalinan. Syaamil berusaha negosiasi untuk mendapatkan izin
menemaniku.
“Boleh, Pak. Nanti setelah diruang bersalin.” Kudengar
sekilas seorang perawat menahan Syaamil di pintu ruang persiapan.
“Sudah bukaan delapan, Bu. Kita persiapkan sekarang ya.”
Bidan cantik yang masih sangat muda itu melepaskan sarung tangannya setelah
memeriksaku.
“Nanti kalau dokter belum datang, bidan saja yang membantu,
tidak apa-apa.” Aku berusaha mengatur nafasku. Kali ini rasanya aku sudah tidak
sanggup menahan sakitnya.
“Dokter sudah dalam perjalanan, Bu. Tidak sampai sepuluh
menit lagi, kok.” Dia menepuk tanganku lembut, menenangkanku.
Entah berapa menit berikutnya, aku sudah dipindah ke ruang
bersalin di sebelah ruang persiapan. Dokter datang, dan dibelakangnya Syaamil
menyusul. Dia meraih lenganku, aku memeluk nya erat-erat.
“Sudah, buka lengkap, ya. Nafasnya panjang-panjang, ya, Bu.”
Dokter perempuan yang satu ini favorit Syaamil, dan jadi favoritku juga
dikehamilan kali ini.
Aku tidak akan menceritakan rasa tulang yang remuk, atau air
mata yang mendadak tumpah saat dokter bilang kepala bayinya sudah muncul.
“Pelan-pelan, Bu. Sedikit lagi.” Aku menghitung nafas dalam
hati, dan sekitar hitungan ke-20, dokter sudah selesai mengeluarkan bayiku.
“Laki-laki.” Dan senyuman lega di wajah Syaamil sangat jelas
kurekam.
Bayi laki-laki itu ditengkurapkan didadaku, dia berusaha
meraihku dalam genggaman tangan kecilnya. Aku menyapanya dengan sukacita saat
dia berhasil menemukan sumber kehidupanya yang baru.
“Assalamu’alaikum Sehran. Assalamu’alaikum, nak.” Dan air
mata bahagia ini tumpah ruah.
.
Malam ini aku istirahat dengan segala kelegaan di dada. Air
mata bahagia sudah surut tadi, sesaat setelah kudengar Syaamil menyuarakan
adzan pada Sehran, dan membacakan doa mustajab untuk bayi yang baru lahir.
Aku tertidur cukup lama setelah proses persalinan tadi. Saat
terjaga, seorang perawat membantuku membersihkan diri. Kutemukan Syaamil masih
sibuk dengan laptopnya hingga aku selesai membereskan badanku.
“Kamu ada kerjaan penting, Pa?” Aku menyapanya, dia hanya
mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya.
“Aku bisa sendiri, kok. Kalau papa perlu pulang, gak apa-apa
mama ditinggal dulu.” Kali ini dia menutup laptopnya dan menghampiriku.
“Mana mungkin aku ninggalin kamu. Kamu itu tanggung jawab
aku.” Dia memelukku, membenamkan wajahku dalam dekapan dadanya.
“Ya, tapi kan penting.”
“Gak pakai tapi-tapi. Kalau dia gak mau nerima yang sudah
aku kirim lewat e-mail, ya sudah. Toh rezeki juga gak cuma dari satu pintu.”
Kali ini dia mencium pipiku kanan kiri.
“Yang satu ini adalah pintu rezeki utamaku.” Ciuman terakhir
setelah dahi, dagu, adalah hidungku.
“Terimakasih sudah menemani mama tadi.” Aku mengulaskan satu
senyuman, dijawab anggukan ringan.
“Tapi sekarang mama lapar.” Aku memamerkan deretan gigiku,
dan dia mengusap kepalaku lembut.
“Siap.” Dan nampan yang sudah tersedia di meja, beralih
kepangkuannya. “Aku yang suapin, ya.” Dia menyendokkan nasi dan kuah rawon. Aku
membuka mulutku dan menikmati setiap suapannya.
“Syaamil.” Aku memanggil namanya, dia mendadak terkejut dan
menatapku bingung.
“Ada apa?” Bola matanya yang coklat cerah tampak jelas
dimataku.
“Terima kasih.”
“Untuk?”
“Untuk satu kesempatan yang kamu berikan …” Aku memilih
kata-kata yang tepat dalam otakku.
“Kesempatan?” Air wajahnya tampak penasaran.
“Satu kesempatan untuk ada dalam kehidupanmu, dan memberimu
keturunan.” Nafasku tercekat di tenggorokan, padanganku berkabut.
“Alyssa. Kamu adalah hadiah untuk aku dan anak-anak. Kamu
adalah jalan terang untuk aku. Aku menerimamu, dengan segala kekurangan dan
kelebihanmu.” Dia meraih jemariku, menggenggamnya erat.
“Terimakasih.” Ucapku sekali lagi, dan air mata ini menetes
di pipi.
“Seharusnya aku yang berterima kasih. Terimakasih, karena
sudah menunjukkan warna cinta dalam kehidupanku.” Dan dia menciumi jemariku
dalam genggamannya.
Aku berbisik dalam hati, “Aku menerimamu, dengan segala
kekurangan dan kelebihanmu. Terimakasih.”
(bagian satu - selesai)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar