Cinta pertamaku itu kamu, dan aku ingin menikah denganmu …
Hujan deras, angin, dan siang yang redup. Kombinasi lengkap
pertemanan tanpa syarat dan seakan berusaha menjadi sahabatku siang ini.
Sebenarnya saat musim pancaroba sudah terhapus sejak lama dari kotaku. Ditengah
perjalanan menuju musim panas, hujan deras dan angin kencang sering mampir
setelah langit cerah sepanjang tiga hari. Dalam perjalanan menuju musim
penghujan, langit pagi pun berwarna abu-abu pekat. Seperti hari ini.
Laptop dihadapanku tidak tampak menyenangkan untuk diajak
bekerja, kalau ditanya, alasanku mungkin akan terdengar bodoh dan mengada-ada.
Karena tunanganku mendadak harus meeting mendadak tepat dihari jadwal kami
fitting baju pernikahan.
Aih… perempuan mana yang tidak sebal, ketika jadwal hari
pentingnya terus saja di-interupsi oleh kesibukan pekerjaan sang laki-laki yang
mencintainya.
Mencintai?
Ah, ya… aku bertemu dengan mas Rindang memang saat bekerja
di kantor Konsultan di Singapore. Dan ternyata dia juga asisten dosen
pembimbing thesisku. Aku tidak menaruh perhatian padanya, tapi ternyata dia
memperhatikanku, dan melamarku tepat disaat aku hampir melupakan alasan penting
kenapa aku harus menikah.
Menjadi single di usia 25 tahun, sebenarnya aku belum cukup
tua untuk diberi lebel ‘perawan tua’, sekalipun mama sudah semakin bawel karena
ternyata sebagian dari sepupuku sudah mulai menimang satu anak, dua anak …
“Mama mau cucu, sebelum mama gak kuat gendong-gendong cucu nanti.”
Aku paham, sebagai anak pertama dari dua bersaudara, aku diharapkan bisa memberi cucu - sesegeranya (as soon as possible). Sedangkan
adikku laki-laki, tentu mama tidak akan bisa memaksa si petualang cinta itu
untuk segera menikah dan menghadiahkan mama cucu. Sejak SMA dia sudah
memutuskan keluar dari rumah. Hingga hari ini, sudah hampir tiga tahun aku
tidak bertemu dan memeluknya.
Ah… ceritaku jadi kemana-mana.
Kembali pada Mas Rindang, dia ingin aku memanggilnya begitu.
Mas Rindang tidak menyatakan perasaannya langsung. Dia sudah cukup lama
memperhatikanku, dan datang melamar di saat yang tepat. Saat dimana aku patah
hati, remuk redam, dan tidak punya sosok yang sanggup memelukku yang sedang banjir
air mata.
Seingatku itu adalah Sabtu abu-abu, sebuah electronic mail
masuk ke kotak pesan. Sebuah pesan dari Syaamil, beberapa foto, dan senyuman
yang tidak membuatku bahagia. Walau aku menjawab pesan itu dengan kata-kata
manis, berharap kebahagiaan untuknya.
Alyssa, kamu orang pertama yang harus tau berita bahagia ini.
Lena menerima lamaranku. Kami akan segera menikah.
.
.
Dua hari tidak muncul di kampus, dua hari aku tidak
melaporkan hasil kerjaku ke kantor, Mas Rindang muncul di depan pintu
apartemenku. Wajahnya tampak cemas, menemukan wajahku yang sembab dia pun
terdiam. Lama kami saling membisu, sampai dia memutuskan untuk bertanya. “Kamu
kenapa?”
Dan sebulan setelahnya, dalam hening makan malam kami seusai
pengumuman kelulusan program Master-ku, Mas Rindang menyatakan rasa hatinya,
dan keinginannya untuk menikah denganku.
“Maaf kalau aku tidak bisa banyak menolongmu.”
“Menolong apa, Mas? Mas banyak bantu aku untuk bisa lulus
tepat waktu dan menyelesaikan risetku dengan sangat baik.”
“Bukan, bukan itu. Aku tidak bisa menjadi penghibur buat kamu waktu kamu butuh …”
“Gak pa pa, aku juga bukan tipe yang butuh teman untuk
mengibur, kok. Mungkin lebih butuh yang bisa jadi sandaran kalau lagi mau numpahin
air mata.” Aku masih ingat, aku mengucapkan kalimat itu dengan menatap nanar
lampu gantung di restoran tempat kami makan malam itu.
“Apa boleh, aku jadi tempat kamu bersandar? Buat aku, cinta pertamaku itu kamu, dan aku ingin menikah denganmu …” Pandanganku jatuh, menatapnya dengan air mata yang menetes tanpa bisa dibendung lagi.
Masih ada penolakan, dan itu tidak mungkin aku katakan. Kami
hanya menghabiskan waktu dengan diam, dia tidak memaksaku menjawabnya, dia
bahkan tidak meminta apapun dariku. Namun sekali lagi malam itu aku menangis,
antara bahagia, sedih, ragu, takut, dan juga senang karena ada seseorang yang
menemukanku, menginginkanku … seperti kata Syaamil hari itu, “Kelak kamu akan
mendapatkan seseorang yang pantas untuk mendampingi kamu. Karena dia memang
menginginkanmu. Tapi itu bukan aku.”
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar