Hingga satu hari, di tahun kedua pernikahan mereka. Malika mengiriminya sebuah pesan bergambar.
...
Malika duduk diam menghadapi laptop dihadapannya, disalah satu sudut yang ia suka sebagai tempat untuk menuangkan ceritanya. ia memilih kata yang tumpah ruah di rongga dadanya, setelah beberapa hari tenggorokannya seperti tercekat setiap kali memandang wajah Ghani yang merindukannya, merindukan Malika disisinya.
Akhirnya Malika mulai menarikan jemarinya diatas tombol huruf-huruf dan merangkaikan kata untuk Ghani, itu yang selalu dilakukannya, berbagi cerita pada Ghani lewat surel.
Aku tidak tahu, kamu akan menggambarkan bahagiamu seperti apa. Tapi jujur, aku akan bahagia dengan caraku. Ini adalah hasil foto, sesuatu yang saat ini berdetak dan hidup didalam rahimku. Aku memberinya nama Aisha. Entah kenapa, aku percaya dia perempuan.
Malam itu, Ghani duduk di sofa istirahatnya yang menghadap ke jendela di sudut kamarnya yang besar. Malika keluar dari kamar mandi hanya berbalut selembar handuk putih, menemukan wajah lelaki itu sepi.
Ghani selalu memasang ekspresi yang sama ketika ia menginginkan Malika, dan dua tahun adalah waktu yang tidak sebentar bagi Malika untuk bisa mengenali dan memahami ekspresi itu, sekalipun Malika tidak terlalu sering menanggapi. Malika hanya mempedulikannya jika dia juga menginginkannya.
“Kamu ingin ditemani?” Malika menyapa Ghani, tatapan lelaki itu menerawang jauh pada langit malam yang tak berbintang.
“Kamu mau duduk dipangkuanku?” Ghani menemukan senyum Malika, dan istrinya itu menghampirinya, membiarkan jasadnya dalam pelukan Ghani.
“Ceritakan apa yang ada dalam benakmu.” Malika berbisik ditelinga Ghani, dan lelaki itu menghela nafasnya.
“Aku tak pernah meminta, aku tak ingin memintanya, sekali pun pada Tuhan. Aku takut permintaanku akan membuatku semakin tidak rela untuk kehilanganmu. Kamu yang begitu sempurna, kamu yang tak bisa kuhapus dari benakku sejak kali pertama aku menemukan senyumanmu. Kamu yang jadi segalanya bagiku walau segala perjanjian itu kadang membuatku menangis. Dan segala ceritamu.”
“Kamu menginginkan sesuatu?”
“Aku ingin sebuah hadiah.”
Malika membiarkan tubuhnya merasakan hangat pelukan Ghani saat kulit mereka saling bersentuhan, dan lembut kuluman bibir yang kadang diberikannya pada Ghani saat ia merasakan lelaki itu merindukannya lebih dari sebelum-sebelumnya.
“Aku tahu, kamu ingin aku menjaga Aisha untukmu.” Malika berbisik lagi, dan Ghani mengeratkan dekapannya pada tubuh Malika, Malika mengizinkannya kali ini.
**Bagian pertama selesai**
note :
masih ada lanjutan ceritanya, tapi karena permintaan khusus, maka tidak di post di blog.... kalau berminat untuk membacanya, boleh mention di twitter #AnakkuSaffanah atau inbox aja ke saffanah.tsabita@gmail.com
terimakasih, tunggu novela berikutnya ya....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar