do not piracy!

do not piracy!
this blog is my creativity

Selasa, 18 Juni 2013

novela : Malika [ mimpi ke-3 ]

...

Malika membiarkan dirinya terkunci dalam pelukan sang lelaki, ia telah melaksanakan kewajibannya malam tadi, sebagai seorang istri. Dan dalam heningnya pagi, Malika kembali merapikan diri. Air dingin bahkan tak bisa mengalahkan kehangatan yang memeluk jasad indah itu, Malika membiarkan wajahnya basah hingga ujung jemari kakinya yang menari mengikuti senandung dalam hatinya.

Busana Malika adalah ketulusannya, ia bahkan tidak pernah bermewah-mewah dalam penampilannya sekalipun ia mampu melakukannya. Pilihannya pagi ini jatuh pada kemeja satin berwarna langit cerah, dengan padanan celana panjang dan blazer yang sepadan dengan kemejanya. Malika hanya menggulung rambutnya dalam jaring rambut berhias pita biru. Bahkan Malika memutuskan tidak mewarna pipi ataupun kelopak matanya.
  
Tak ada yang bisa mengatakan Malika tidak berubah. Setiap perempuan yang sudah menikah pasti berubah. Hanya saja Malika masih memiliki senyuman yang sama, keramahan yang bergeming dalam sikapnya, dan ketekunan sebagai seorang professional yang dijalaninya, Malika memutuskan untuk tetap menjadi orang yang sama.

Malika membiarkan Ghani terbangun sendiri, meraba dengan mata terpejam sisi kiri tempatnya berbaring yang tak lagi berpenghuni. Lelaki itu duduk dan masih menguap, meregangkan otot punggungnya, dan kemudian membuka mata. Ia menemukan istrinya duduk dengan hidangan sarapan, menunggunya di seberang tempat tidur yang mereka huni bersama semalam.

“Aku tetap tidak boleh meminta kecupan selamat pagi?” Ghani memandang wajah ayu perempuan itu, ia tahu bahwa Malika akan segera berangkat bekerja.

Malika beranjak dari duduknya, membawa serta nampan berisikan sarapan untuk Ghani. Ia, meletakkan nampannya, lalu duduk menghampiri Ghani. Sebuah kecupan ringan dibibir Ghani, hadiah dari Malika. Ghani tak sempat membalas kecupan itu, karena rasa hatinya masih sangat ingin mengulum bibir Malika, sekalipun bibir itu telah diwarna pink pagi ini.

“Aku berangkat, kamu boleh jemput aku jam tiga.” Malika berdiri dari duduknya, tapi Ghani meraih lengan Malika sesaat sebelum ia berada diluar jangkauan.

“Terima kasih.” Ghani mencoba tersenyum, sesuatu yang ia hampir lupa bagaimana caranya sejak ia kehilangan istri pertamanya. Sedetik, Ghani mengecup jemari Malika, tepat dimana cincin emas putih polos itu melingkar.

Malika membalas senyuman itu seperti biasa, dan dengan langkah ringan, yang bahkan tumit runcing sepatu Malika tidak menyisakan ketukan, ia pergi.


**bersambung**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar