#NulisKilat |
Judul : Malang dalam Cinta 48 Jam
30 Desember – 10.00 pagi
Shinta memijit dahinya kuat-kuat, rasa sakit yang tak
bisa diabaikannya membuatnya lama duduk terdiam dalam sendiri di sudut bangku
tempat parkir. Ada rasa yang tak bisa diabaikannya, tapi lebih besar lagi
rencana dalam otaknya yang belum sepenuhnya terlaksana, dan dia masih menyusun
bagian lainnya ditengah sakit kepalanya yang mulai mengganggu.
“Mbak Shinta
perlu obat?”
Jamal si tukang parkir menghampirinya, Shinta hanya menggeleng. Dia bahkan
tidak sanggup mengangkat wajahnya hanya sekedar untuk mengucapkan terimakasih
untuk sebuah penawaran yang tulus.
“Kenapa gak
istirahat dulu aja Mbak?” Jamal menyodorkan botol air mineral yang belum dibuka pada Shinta.
Shinta menerimanya, sambil mengernyitkan dahinya, menahan sakit kepala.
“Masih
banyak kerjaan.” Shinta menjawab sekenanya.
“Tapi acara
besarnya kan baru besok, Mbak.” Jamal lalu kembali ke pekerjaannya, setelah melihat Shinta meminum
setengah isi botol air mineralnya.
Seorang perempuan muda muncul dari arah tangga. Di pundaknya
sebuah tas laptop menggantung, dan dalam dekapannya setumpuk buku tampak cukup
berat untuk dibawanya sendiri. Dia menghampiri Shinta, meletakkan buku-buku
besar itu dan menghembuskan nafas lelahnya sekaligus.
“Kamu masih
sakit?”
Karina, kawan, sahabat, rekan kerja Shinta, sekaligus asisten dari sang kakak,
menyapanya.
“Gak pa pa,
kita janjian jam berapa?” Shinta memandang wajah Karina sesaat, lalu melanjutkan memijit
dahinya kuat-kuat.
“Jam dua
belas.”
Karina melirik jam tangannya.
“Kita makan
siang dulu aja kalau gitu?” Shinta mencoba mencari solusi, tapi tiba-tiba ponsel Karina
bordering.
“Bos.” Karina memberi tahu
Shinta, lalu segera menjawab panggilan itu.
“Ya.
Meetingnya ditunda setelah tahun baru. Iya, tadi saya di telpon Kei. Baik. Saya
mau makan siang. Ya. Baik. OK.”
Karina menyimpan kembali ponselnya di saku jaket. Lalu
dia mengeluarkan kunci mobil dan memanggil Jamal. Meminta tolong untuk
mengangkatkan setumpuk buku yang dibawanya tadi. Lalu setelahnya dia menyimpan
laptopnya di dalam mobil si bos.
“Kita pergi
sekarang?”
Shinta masih duduk diam di bangkunya, Karina tidak mencoba menawarkan apapun.
Menjadi sahabat kadang kata kuncinya cuma satu. Diam.
“Makan siang
dimana?”
Shinta menjawab pertanyaan Karin dengan pertanyaan juga.
“Dimana aja,
toh tempat makan ada banyak. Tapi kalau kamu menawari aku, aku mau ke Juminten.
Katanya ada menu baru yang enak disana.”
“Jauh.” Shinta memotong.
“Becak-kan
banyak.”
Tanpa diperintah Karina menyebran jalan, dan menyapa tukang becak yang mangkal
di dekat hotel, diseberang gedung tempat kerja mereka.
“Ayo.” Karina menggamit lengan
Shinta, dan mengajaknya naik becak.
30 Desember – 11.30 siang
Perempuan dengan pakaian modis seperti itu, cukup
jarang ditemui di jalanan kota Malang. Dia sedang berjalan kaki menyeberangi jalan besar dengan langkah mantap
dengan sapatu hak tingginya, dan tentu saja dia menjadi pusat
perhatian. Dia melanjutkan
perjalanannya menuju Java Dancer Kafe yang berada
diseberang tugu balai Kota Malang. Salah
satu taman terbaik yang ada di kota Malang, taman
dengan bunga warna-warni yang melingkari sebuah tugu yang dikelilingi kolam
dengan banyak teratai di permukaannya.
Topi putih berpayung lebar itu menyembunyikan wajah
ayunya, rambut hitam legam yang tergerai panjang melewati punggung, menunjukkan
betapa perempuan itu benar-benar merawat dirinya dengan sangat baik.
Sampai di Kafe yang bernuansa Jawa itu, si perempuan
duduk di satu sudut dekat meja bar. Bukan tanpa alasan dia memilih meja dengan
empat kursi, dia datang ke Kafe itu memang untuk bertemu dengan seseorang, yang kemungkinan besar tidak datang sendirian. Pelayan menyuguhkan daftar menu, tapi dia menolaknya, sambil
melepas topi dan kaca mata hitamnya.
“Coffee
latte, jangan dikasi gula ya.” Dia tersenyum, dan pelayan mengangguk, lalu pergi.
Tidak ada gadget terkini, tidak ada benda yang
menyibukkannya, perempuan itu lalu meminta Koran hari ini pada pelayan, dan
sebuah Kompas, Jawa Pos, dan dua majalah ikut disertakan si pelayan.
“Terima
kasih.”
Jawabnya, dan dia mulai menikmati halaman-halaman berita.
Tepat pukul dua belas, setelah pelayan mengantarkan
pesanannya, dia menutup halaman terakhir
Koran yang dibacanya. Dua perempuan muncul dengan setengah tergesa,
menghampirinya.
“Mbak yu,
sudah lamakah?” Shinta menghampiri perempuan yang disapanya Mbak yu itu.
“Nggak, tadi
jalan-jalan sebentar di tugu, habis itu kesini, ngopi. Baca koran.” Jawab perempuan itu, dan
kemudian ia juga menyalami Karina.
“Dari mana?
Kok kayak capek gitu?” Kali ini Shinta hanya tersenyum menjawab pertanyaan itu.
“Makan
siang, Mbak.
Tadi aku sempat pusing, jadi makan siang dulu. Pas terima sms mbak, aku
takutnya terlambat. Lha, wong tukang becaknya kalau dari arah lampu merah
jarang.”
Shinta menjelaskan, dan perempuan itu hanya tersenyum dibuatnya.
“Jadi, apa
Rama tahu kamu undang aku ke Malang?” Perempuan itu menyebut satu nama, dan Shinta hanya menggeleng.
Karina masih sibuk dengan pilihan menu ditangannya,
dan sesaat merasa diajak ikut dalam pembicaraan setelah Shinta menyikutnya.
“Bos, gak
tau. Ini ide Shinta, Mbak.” Karina mencoba tersenyum, tapi dia berusaha untuk tidak ikut campur
kali ini.
“Apa harus
aku menetap di Malang lagi? Kalau cuma bikin ribet, ribut, dan ruwet. Buat apa?” Perempuan yang dipanggil
Mbak yu itu
menyesap kopinya lagi, dan dia tampak ingin diyakinkan kali ini.
“Sudah
terlalu lama, Mbak. Dan besok Rama sudah tiga puluh lima, apa lagi yang dia tunggu.
Dan kalau bukan Mbak yu, siapa lagi yang bisa meyakinkan dia?” Shinta menekankan
kalimatnya pada kata Rama dan Mbak yu.
Hening seketika diantara mereka, dan hanya bising
jalanan disampul musik pop-jazz pilihan kafe Java Dancer yang terdengar. Shinta tidak tahu,
apakah yang dilakukannya ini benar, dan keyakinannya perlahan menyurut bersama
dengan ekspresi perempuan dihadapannya yang juga sedang menahan diri untuk
tidak banyak bicara, tidak ingin mendebat Shinta yang pernah sangat akrab
dengannya, dulu. Hampir sepuluh tahun yang lalu.
30 Desember – 18.00 menjelang malam
Gedung usaha mandiri ini dinamai OwN, memanfaatkan
rangka dari bangunan lama Wisma Tumapel. Terletak di kiri bangunan Gedung Balai
Kota Malang, di sudut tikungan menuju pasar bunga Splendid. Bangunan ini di
desain ulang oleh Rama dan tim arsitekturnya. Mempertahankan wajah bangunan
lama, tapi memberikan banyak sentuhan baru dan tetap bernuansa
kolonial-tradisional. Dan jadilah bangunan tua yang dulu adalah rumah sewa ini
menjadi sebuah ruang baru yang layak dijajal bagi penghuni dan tamu kota
Malang.
Rama bertaruh pada prestasinya sebagai arsitek lokal
saat membeli lahan itu, dan menyusun konsepnya selama hampir satu tahun.
Mengumpulkan banyak sponsor, dan mengurus perizinannya yang menghabiskan banyak
modal, terutama untuk membayar surveyor dan tim hukum. Rama tidak mau karyanya
hanya jadi nama saja kali ini. Dan malam tahun baru besok, peresmian gedung ini
akan dilaksanakan.
Undangan sudah disebar, Chef sudah di kontrak. Lima
blok yang tersedia, sudah empat yang terisi. Banyak karya seniman lokal yang
siap di pamerkan untuk dilelang. Beberapa bagiannya memang belum terselesaikan,
masih banyak hal yang harus dilengkapi. Tapi Rama sudah cukup puas kali ini.
Dua puluh empat jam sebelum acara besok, Rama sedang menikmati makan malamnya
sendiri. Kafe OwN, sebuah tempat makan bernuansa klasik eropa, dengan sentuhan
detail modern pada bar dan dapurnya.
Rama menempatkannya di lantai dua, karena mereka butuh
tempat parkir lebih sedangkan luas lahan terbatas. Lagi pula, karena di lantai dua,
mereka jadi lebih leluasa memandang jalanan kota. Satu sudut favorit Rama dan
tempat itu jadi sangat eksklusif karena pemandangannya. Kamu bisa melihat tugu kota yang bersinaran di
malam hari, diterangi ratusan lampu warna-warni. Dan hanya dengan memandangnya,
kamu akan jatuh hati pada kota yang terkenal karena suhu rata-ratanya berada di
kisaran 20
derajat celcius itu.
“Ini salah
satu dessert yang akan dihidangkan untuk tamu-tamu besok.” Diana, Chef yang sudah
di kontrak untuk semester pertama menyajikan sebuah pudding dalam gelas cantik.
“Apa
namanya?”
“Flip-flop
Choco Surprise. Kamu bisa dapatkan rasa cokelat klasik, lapisan layer dengan
tingkat kepekatan cokelat yang berbeda, dan sebuah kejutan pada salah satu
sendokannya.”
Diana menjelaskannya dengan nada presentasi khas Chef. Tanpa mencicipinya, kamu
seperti sudah tahu bagaimana rasa sajiannya, tapi kamu tidak akan yakin sampai
kamu mencobanya di atas lidahmu.
“Baiklah.”
“Selamat
menikmati.”
Diana berlalu, tapi Rama belum mengangkat sendoknya, dia masih menikmati
pemandangan indah yang dihadirkan sajian sederhana itu, walau Rama tahu, Diana
bukan sekejapan saja meraciknya.
Seketika Rama merasakan rindu yang tiba-tiba
menghampiri, dia mengingat sesuatu tentang cokelat pudding terakhir yang
dinikmatinya dengan bahagia. Sangat bahagia. Dan itu sudah sangat lama berlalu.
30 Desember – 23.00 menjelang tengah malam
Sebuah pesan masuk di ponsel Shinta. Tapi Shinta sudah
lama pergi tidur, lelah dan penat, juga sakit kepala yang tidak kunjung mereda pada akhirnya
memaksanya untuk segera berisitirahat. Karena esok adalah hari penting, dan dia
tak ingin melewatkannya.
Malam dengan gerimis, angin yang bertiup kencang
terabaikan oleh Shinta. Tapi perempuan yang ditemui Shinta siang tadi, tak
kunjung sanggup memejamkan matanya. Dihadapannya kertas-kertas penuh coretan
bertebaran. Tidak bisa fokus, dan sulit konsentrasi.
Dia sudah terlalu lama meninggalkan kota Malang.
Tempat dimana dia memulai segalanya dulu. Perpisahan kedua orang tuanya dan
pilihan untuk menetap bersama ayahnya di Malang. Tidak bisa ikut ibu, karena
ibu akan pergi ke Arab. Tapi ibu berpesan, belajarlah memasak dan menjahit,
agar tidak terlalu terintimidasi jika menikah nanti. Ia menurut, dan setelah
lulus SMK, dia kuliah tata busana. Hanya tiga tahun, dan masih banyak waktu
luang, ketika akhirnya tawaran untuk melanjutkan studi professional di Jakarta
datang.
Menjelajah Milan, Paris, sampai Los Angeles. Dan saat
dia pulang ke Malang, dia berkenalan dengan Rama. Sri Rama. Seorang Arsitek
muda yang sedang merintis karirnya. Seorang pemuda dari keluarga berada yang
selalu bergaya. Dia tahu Rama menyukainya, tapi dia sadar dia tidak mungkin
menetap di Malang yang kecil, dia butuh ruang yang lebih luas dari hanya sebuah
lingkaran kecil yang penuh kedukaan bagi masa lalunya.
Itu hampir delapan tahun yang lalu, dan sekarang. Rama adalah seorang Arsitek muda
yang sudah menjejalkan karyanya di berbagai sudut kota Malang. Mengembangkan
sayapnya pada skala nasional. Dan saat dia mengikuti perkembangan dunia
arsitektur lewat majalah-majalah desain, selalu ada nama Rama disana. Dan
Shinta memanggilnya pulang.
“Dia gak pernah
menghapus nama Mbak yu dari dalam hidupnya. Dia hanya bermain-main dengan
banyak perempuan yang menghampirinya. Gak ada yang serius.” Kata-kata Shinta
berulang dalam benaknya.
“Seharusnya
Mbak yu tahu, tapi bahkan dia terlalu sombong untuk mengakui kalau rasa hatinya
hanya untuk Mbak yu.”
Kali ini dia membuang satu lembar lagi hasil
rancangannya. Saat dia sedang tidak bisa tidur, jemarinya selalu menekan
kuat-kuat pensil diatas kertas. Hal yang sama, yang dia tahu, sama seperti
kebiasaan Rama. Karena itu dulu mereka pernah menghabiskan malam-malam bersama
untuk menggambar. Dimana saja, di warung kopi, di lantai ruang kerja Rama,
sampai di teras rumah sang ayah yang kini sudah dijual, karena sang ayah
meninggal.
“Tidak ada
alasan besar untuk pulang dan menetap di Malang, Shin. Aku mungkin bisa buka
toko disini, tapi untuk menetap?” Dan dia hanya menggeleng, menolak pilihan yang ditawarkan Shinta.
“Aku hanya
berfikir, kalau Mas Rama masih sendiri, dan Mbak yu juga. Mungkin karena Mas
Rama dan Mbak yu masih sama-sama menunggu.”
Siang itu, menjelang sore. Dia ingin membenarkan apa
yang ada dalam pikiran Shinta. Tapi bahkan ia tidak pernah sanggup mengakui
dalam hatinya. Apakah benar cinta ini yang diharapkannya.
31 Desember – 11.00 menjelang tengah hari
Rama masih sibuk dengan gambar yang sedang
dihadapinya, sketsa detail yang harus dirampungkannya untuk bisa mulai
dikerjakan dua orang drafternya Senin depan, saat mereka mulai kembali bekerja
di hari pertama setelah liburan panjang akhir tahun. Ruang kerja baru di lantai
tiga sudah siap ditempati. Dan kali ini Rama masih bergeming walau Karina sibuk
bolak-balik antara meja kerja Rama dan beberapa rak yang ditatanya kembali. Di isi
beberapa buku arsitektur yang ditukarnya kemarin, dari kantor lama ke kantor baru.
Saat yang lain libur, Karina tetap bekerja, salah satu resiko yang diambilnya
dengan menjadi asisten pribadi sekaligus junior arsitek soerang yang sibuk
seperti Rama.
“Karin,
tolong simpan gambar-gambar ini dalam file. Malam nanti kirim kan ke saya via
e-mail seperti biasa.” Ya… pada akhirnya Karina mendapatkan satu sapa dari bos-nya yang
sangat pendiam hari ini.
“Harus nanti
Malam, Pak?”
Karina memandang tumpukan lembaran kertas yang ada di meja kerja Rama.
“Oh, iya.
Nanti malam kita ada acara, ya? Ya sudah. Pokoknya hari Senin harus siap, biar
nanti anak-anak bisa langsung kerjakan gambar kerjanya.”
Yang dimaksudkan Rama dengan anak-anak adalah tiga
siswa magang dan dua orang drafter tetap yang bekerja di konsultan perencana
arsitektur milik Rama. Rainbow Architecture. Kantor baru mereka sekarang ada di
lantai tiga gedung usaha mandiri OwN.
“Baik, Pak.”
“Satu lagi.” Rama menghentikan
kesibukan Karina menyusun lembaran kertas di meja.
“Semua
undangan sudah terkirim-kan?” Rama memastikan, Karina hanya mengangguk.
“Saya merasa
seperti melewatkan beberapa nama. Bisa kamu pastikan orang-orang ini
mendapatkan undangannya?” Rama menyodorkan selembar catatan berisikan beberapa nama yang
Karina bahkan tidak ingat mereka pernah jadi klien atau rekanan Rama.
“Baik, Pak.”
Karina melanjutkan kesibukannya, dan Rama segera
beranjak dari duduknya. Merapikan diri, memeriksa tas kecilnya yang berisikan
beberapa gadget penting pendukung pekerjaannya. Lalu pergi.
Jam makan siang. Karina tahu, tidak akan pernah ada
perintah atau ajakan makan siang dari bos yang satu ini. Mereka seperti sudah
saling paham dengan aturan dan ketentuan yang berlaku, istirahat satu jam, dan
silahkan kembali bekerja. Terlambat, silahkan minta izin pada Karina atau
Shinta. Kalau Karina atau Shinta pergi?
Ponsel Karina bordering. Bos mengirim pesan singkat.
-Nanti malam
boleh dandan, jangan terlambat. Jadi penerima tamu juga boleh.-
Entah kenapa Karina hanya tersenyum, dia sudah tidak
ingin terlalu berharap. Setelah lima tahun dan tidak diperhatikan secara
khusus, Karina tahu dia tidak boleh besar kepala dengan perhatian diam-diam
dari sang Bos. Lagi pula Shinta sudah memanggil pulang calon terkuat untuk Bos
Rama. Namanya Sekar Janur.
31 Desember – 17.00 diakhir sore yang berawan
“Semoga gak
hujan.”
Shinta menatap langit dalam diam, dia berbisik pada dirinya sendiri.
“Semua sudah
siap.” Diana
sang Chef menghapiri Shinta.
“Ya, tapi
rasanya masih banyak yang kurang.” Shinta hanya bergumam.
“Tidak semua
bisa sempurna seperti apa yang ada dalam benak kita. Dan setiap keinginan yang
tidak terwujud sekarang, itu mungkin karena penundaan dari Tuhan.” Diana menepuk punggung
tangan Shinta.
“Ya. Kalau
saja Rama tidak terlalu egois. Tapi aku tidak ingin menundanya lebih lama lagi.” Shinta memandang kedalam
mata Diana. Mereka saling tahu, pembicaraan tentang apa yang sedang dibahas
sekarang.
Shinta sudah cukup lama menyimpan keinginannya untuk
menikah. Dalam satu tahun ini dia sudah menolak dua orang yang melamarnya lewat
kedua orang tuanya, dengan alasan yang sama, Rama belum menikah. Dan saat
seorang lagi datang, menawarkan hubungan serius pada Shinta kali ini, dia tidak
ingin menolaknya. Tapi harus ada cara supaya Rama menikah juga.
“Mas Rama
niku tresnane karo sopo? Kalau begini terus, Shinta gak bakan menikah. Ibu ndak
setuju kalau Shinta nglangkahi Mas Rama. Selain karena usia kita jauh, yo ra
pantes juga, to?”
Shinta mengingat kejadian satu bulan yang lalu, saat
Shinta gagal mencoba mengenalkan lelaki itu pada ibunya.
“Masa lalu
itu gak bisa diharapkan kembali. Kalau Mas Rama ada yang suka, kenapa gak coba
serius? Nuruti mau ibu yang kudu komplit bibit, bebet, bobotnya yo kesuwen. Lha
yang sudah OK sama kurang lebihnya Mas Rama aja yo ditolak ibu.”
Mendebat kakak sulungnya itu serasa tak berguna
dan tahun akan segera berganti. Shinta
sudah hampir kehabisan nafas kesabarannya menunggu dan terus menunggu. Dan
Diana yang pernah menjadi kekasih Rama saat masa SMA mengerti apa yang ada
dalam pikiran Shinta di hari terakhir tahun ini. Karena terkadang, Diana juga
berfikir, kenapa seorang semapan Rama belum juga menikah, menambatkan hatinya,
dan menjadi seorang yang lebih sempurna dengan berkeluarga.
“Rencanamu
yang tempo hari, jadi?” Diana memecah hening, Shinta hanya mengangguk.
“Nanti dia
bakalan datang.” Dan mereka sama-sama menghembuskan nafas panjang, melepas segala
gundah dan resah karena esok adalah esok, semua masih rahasia.
31 Desember – 20.00 acara dimulai
Beberapa tamu undangan sudah ada yang hadir, keramaian
malam ini dimeriahkan oleh penampilan home band. Sebuah kelompok musik akustik
yang dikontrak eksklusif oleh manajemen kafe, mereka memakai nama panggung New
Bass. Sudah tiga lagu sejak pembukaan acara. Dan menu makan malam kali ini
cukup beragam, dengan porsi kecil-kecil, hingga semua orang bisa mencicipi
setiap sajian yang akan menjadi menu dalam beberapa bulan kedepan di OwN Kafe.
Wajah-wajah tak asing bagi Shinta menyalaminya
satu-satu, teman-teman sejawat arsitek, rekanan interior, fotografer, sampai
beberapa klien besar yang pernah dihadapi Shinta, datang. Tapi Rama masih belum
muncul. Pesan singkat dari Shinta juga tidak dijawab. Entah dimana bos yang
satu itu sedang menyepi, tapi Shinta hanya mencoba bersabar. Semoga Rama tidak
berencana tidak hadir di acara pentingnya kali ini.
Sajian pembuka yang beragam dari Chef Diana sudah
hampir habis, soup, salad, dan beberapa jenis roti untuk dua ratus undangan
sudah ditambahkan. Menu utama malam ini ada beberapa olahan nasi, kentang,
dengan protein udang, daging, dan ikan. Shinta duduk sendiri menghadap meja
bar, menikmati makanannya dalam diam. Sesekali Diana menghampirinya mencoba
menghiburnya walau hanya dengan senyuman.
Beberapa jam, dan keramaian menjadi lebih riuh.
Seorang lelaki menghampiri Shinta, menggantungkan lengannya di pundak Shinta
dan mengecup lembut pipi Shinta saat mereka saling menemukan dalam diam.
“Sengaja
terlambat, ya?” Shinta berbisik, keramaian yang ada mengabaikan mereka.
“Barusan
belanja cat, besok pagi ada pekerjaan.” Mereka lalu menghabiskan beberapa menit
selanjutnya untuk ngobrol di sela dengan diam, menikmati musik, lalu ngobrol
lagi.
31 Desember – Menit-menit menjelang pergantiah tahun
Rama muncul tiba-tiba, dia disambut dengan teriakan
dan ucapan selamat dari tamu-tamu yang hadir. Prestasi besar dan hasil karya
yang mengagumkan. Tepuk tangan riuh, dan lagu bahagia menjadi musik latar.
Shinta memaksakan dirinya tersenyum, sesaat dia membiarkan Rama menikmati
kemenangannya. Dan saat mereka meniupkan terompet bersama, Rama mengangkat
gelas minumannya tinggi-tinggi untuk bersulang. Hanya saja telinganya mendengar
bunyi lonceng pintu depan kafe, sesuatu yang didesainnya dengan cukup teliti,
agar pelayan segera tahu jika ada tamu yang datang. Satu detik, Rama menoleh ke
pintu depan dan menemukan sosok cantik itu disana.
Perempuan itu datang dengan gaun sederhana, sebuah
overall berbahan satin dengan motif detail batik mega mendung. Sebuah jaket
warna biru tua yang membungkus pundaknya dan masih seperti dulu, rambut hitam
panjang yang terurai jatuh sampai melewati pinggang.
“Selamat
tahun baru!!!” Teriakan riuh itu bersahutan. Tapi senyuman lembut perempuan itu
menghentikan semangat Rama seketika. Tertegun.
“Hai,
Selamat tahun baru.” Perempuan itu menyapa Rama. Mengulurkan tangannya, mengajak Rama berjabat tangan.
“Selamat,
ya. Ini karya terhebat dan terbaik kamu tahun ini. Semua mengakuinya, aku juga.” Rama membisu, jemarinya
kaku dalam genggaman, jabat erat perempuan itu.
1 Januari – Dini hari, usai acara riuh dan sepi
mengganti
Sudah lebih dua jam mereka duduk berhadapan, saling
tatap dalam diam. Rama lebih banyak membisu, dia minum dua gelas kopi untuk
membunuh kantuknya, demi memandang wajah ayu yang tak berubah itu. Sudah hampir
delapan tahun, dan kali ini dia disana.
“Kamu, kapan
menikah?”
Perempuan itu mengejutkan Rama dengan pertanyannya kali ini.
“Siapa yang
mau menikah dengan bujangan tua seperti aku?” Rama menyesap kopinya lagi.
“Kamu sudah
mapan dan sukses sekarang, tidak mungkin tidak ada perempuan yang tertarik
padamu.” Kali
ini Rama hanya tersenyum.
“Memangnya
jatuh cinta itu gampang?” Rama memandang tugu kota yang bersinaran, dia sedang mencoba
mengingkari, tapi hatinya tidak setuju dengan usahanya kali ini.
“Bukannya
kamu selalu jatuh cinta pada apa saja.”
“Tapi bukan
siapa saja.”
Potong Rama cepat.
“Bahkan
pudding coklat yang penuh kejutan ini juga tidak bisa membuatmu jatuh cinta?” Perempuan itu, sekali
lagi menyendok puddingnya.
“Rasa cinta
itu bukan sesuatu yang mudah sekarang, Sekar.” Rama menyebut namanya, dan perempuan itu
mengangkat wajahnya, menatap kedalam mata Rama.
“Terutama
sejak kamu pergi.” Rama menghela nafasnya.
“Semua jadi
semakin tidak mudah, karena aku tidak tahu bagaimana cara memintamu kembali.” Rama mengatakannya
dengan sangat jelas.
Bahkan Shinta yang sedari tadi menyimak obrolan mereka
dari jauh, mengangkat kepalanya dari meja seketika, kantuknya hilang mendadak.
“Aku tidak
punya alasan untuk kembali ke Malang, sejak ayah meninggal, dan cita-citamu
yang kamu paparkan sama sekali tidak bisa menjadi cita-citaku, aku tidak punya
apapun yang bisa membuatku tetap tinggal disini.”
Dingin dini hari awal tahun baru ini mendadak menusuk
hingga kedalam tulang dan menjelajahi sum-sum tulang bersama rasa ngilu yang
menyakitkan bagi Rama. Wajah Sekar yang tak menunjukkan ekspresi khusus
membuatnya merasa semakin bersalah sekarang. Salah karena tidak pernah mengejar
Sekar, salah karena membiarkannya pergi, salah karena tidak pernah berusaha
menemukannya.
Acara keramaian di lingkaran tugu kota sudah selesai,
semua mendadak menjadi hening dan sunyi. Walau masih ada musik dari pengeras
suara kafe, tapi gambaran suasana hati antara Rama dan Sekar tidak seindah
alunan musiknya.
“Aku tidak
mungkin menetap disini. Karena aku juga tidak punya alasan untuk tetap tinggal.
Semua kenangan itu, biar jadi catatan masa lalu. Melangkahlah, dan temukan
seseorang yang bisa menggantikan aku. Itu bahkan jauh lebih baik untukmu. Juga
untuk Shinta.”
Sekar beranjak dari duduknya, dia bersiap pergi.
“Itu
alasanmu? Shinta?” Rama memandang langit malam yang perlahan mendung.
“Setiap
orang punya alasan untuk datang dan pergi, kali ini aku datang karena Shinta.
Tapi aku tidak akan jadi bagian dari masa depanmu karena Shinta. Kamu berhak
punya pilihan. Kalau kamu memang tidak ingin menikah, tolong berikan kesempatan
pada Shinta. Setidaknya didepan ibumu. Kasihan kalau perempuan terus dibiarkan
menangis.”
Sekar meninggalkan kursinya. Dia menghampiri Shinta
yang tampak seperti menahan airmatanya.
“Aku harus
pulang sekarang. Pesawatku nanti agak siang. Terima kasih sudah mengundangku
datang.”
Sekar melingkarkan lengannya di pundak Shinta mereka berpelukan dalam diam.
“Titip Shinta,
ya.” Sekar
memandang wajah lelaki yang ia tahu itu adalah kekasih Shinta, tapi mereka
belum berkenalan, Sekar tidak tahu siapa namanya.
“Terima
kasih Mbak yu.” Shinta tak sanggup menahan air matanya.
“Jadilah
lebih kuat, karena kamu dia masih bisa berdiri.” Sekar mengecup pipi Shinta dan dia pergi.
Dini hari, gerimis, dingin, dan sepi. Shinta menangis
dalam sendirinya, kekasihnya hanya mampu memeluknya dalam diam. Shinta tidak
tahu Sekar pergi juga dengan air mata. Air mata penyesalan karena ternyata
lelaki yang ditunggunya tidak juga mengejarnya hingga langkah terakhirnya di
gedung itu.
1 Januari – 08.00 pagi
Sekar sudah duduk di bangku teras Bandara Abdul
Rachman Saleh. Penerbangan yang seharusnya jam 9 pagi, terpaksa harus tertunda
karena masalah ini itu yang Sekar juga tidak mau tau. Sekar menghabiskan waktu
menunggunya dengan membaca koran yang didapatnya dari sopir taksi saat perjalanan ke bandara
tadi.
“Lumayan,
Mbak. Buat mengisi waktu nunggu, kadang memang suka gitu pesawat dari Malang,
delay-delay.”
Sopir taksi itu mencoba ramah pada Sekar, tapi Sekar hanya tersenyum, dia sudah
sangat jarang beramah-tamah pada orang yang tak dikenal.
Di sisi lain kota yang sedang hening, gerimis, banyak
yang jadi malas keluar rumah. Selain Karena semalam suntuk menunggu pergantian
tahun, saat pagi datang mata masih mengantuk. Ada juga yang beralasan ingin
tidur satu tahun, tapi bahkan Rama belum berhasil memejamkan matanya sejak
Sekar meninggalkannya dini hari tadi.
Ibunya sudah mengetuk pintu kamar Rama beberapa kali,
tapi tetap tidak ada jawaban.
“Mas-mu
kenapa to, Nduk?” Sang ibu akhirnya bertanya pada Shinta yang sedang menonton
televisi.
“Gak tau,
mungkin masih tidur.” Shinta menjawab sekenanya.
“Tambah umur
kok gak tambah dewasa, kalau ngambek kok yo masih saja suka ngurung diri di
kamar.” Sang
ibu mengeluh, tapi segera berlalu. Shinta tidak mencoba menyanggah apa lagi
menjawab. Dia mematikan televisi dan menuju pintu kamar Rama.
“Mas, boleh
masuk gak?”
Shinta bertanya, sekitar sepuluh hitungan, pintu kamar Rama terbuka sedikit.
Shinta masuk, dan menemukan wajah kusut Rama.
“Belum tidur
ta?” Shinta
duduk di dekat jendela kamar Rama, jendelanya menghadap ke halaman belakang, tempat mereka biasa
menghabiskan waktu berkebun bersama ibu.
“Gak bisa
tidur?”
Shinta masih melanjutkan pertanyaannya, gerimis mengundang banyak pertanyaan di
otak Shinta.
“Mas Rama
beneran gak pingin nikah? Sulit jatuh cinta lagi? Bahkan sama Mbak Sekar?” Shinta masih bertanya,
tapi pandangannya tetap pada pemandangan hujan dibalik jendela.
“Kamu
terlualu banyak berfikir, Mas. Dan itu membuat ibu menangis.” Akhirnya Shinta
menemukan wajah Rama, yang sedang diam membisu, duduk memandang sebuah bingkai
foto dipangkuannya.
Shinta menghampiri Rama, kali ini dia menemukan foto
dengan wajah bahagia itu disana.
“Semua waktu
yang berlalu, semua usaha keras membangun keberhasilan itu, bahkan tidak
membuatnya tertarik untuk tetap tinggal.” Rama bergumam.
“Mas Rama
gak memintanya untuk tinggal. Mas Rama bahkan masih mencari celah kesalahan
dari apa yang dibicarakan Mbak Sekar. Tidak bisa mengalah dan bicara jujur, Mas
Rama pun masih mengingkari rasa hati Mas Rama pada Mbak Sekar.” Shinta menjatuhkan
kepalanya di pundak Rama.
“Tidak
semudah itu. Aku memang menunggunya, tapi aku tidak yakin apa mampu menjaganya.” Rama mengingat pembicaraan yang dulu.
“Aku masih
menata kehidupanku, aku belum seperti kamu yang sudah menemukan dunia dan
jalanmu.”
“Kalau kamu
berfikir tentang kemapanan, sampai kapanpun kamu tidak akan merasa cukup.
Sekalipun keberhasilanmu sudah dipandang setinggi langit.”
“Ya, karena
itu aku tidak tahu, apa aku sanggup menjagamu nanti.”
“Kamu tidak
perlu menjagaku, aku yang akan menjagamu kalau kamu mau.”
“Tapi tugas
laki-laki menjaga perempuan.”
Sekar hanya terdiam saat itu, dan dia tahu Rama sudah
tidak ingin dibantah lagi. Mereka akhirnya berusaha saling menjaga perasaan,
dengan diam. Sampai akhirnya Sekar yang membuat keputusan, Pergi - tak lagi
kembali.
Sebuah pesan singkat mengusik diam diantara Shinta dan
Rama, Shinta meraih ponselnya dan menemukan satu pesan dari Karina.
-Pesawat
Mbak Sekar delay. Kira-kira, masih ada kesempatan kalau kamu mau sedikit lagi
berusaha.-
Shinta menutup ponselnya, dia segera beranjak dari
duduknya, meraih jaket Rama yang tergantung dibalik pintu kamar.
“Mana kunci
mobil?”
Shinta menarik Rama dari duduknya.
“Mau kemana?” Rama berusaha mengelak
dari ajakan Shinta.
“Mengejar
mimpi dan masa depanmu.” Shinta mendorong Rama keluar dari kamar, sang ibu memandang bingung
kelakuan anak-anaknya.
“Nyaopo to?”
“Shinta mau
anterin Mas Rama sebentar, Bu.”
Dan mereka segera berangkat, menembus gerimis,
membelah sepinya jalanan. Tidak cukup jauh, tapi tidak terlalu dekat.
Perjalanan menuju Bandara kali ini seperti cepat bagi Shinta. Dia tahu, Rama
dan Sekar saling menginginkan. Tebakannya tidak salah, dua orang itu saling menunggu,
hanya saja yang satu keras kepala, yang satu lagi terlalu tinggi harga diri.
Shinta mempertahankan adrenalin yang mengisi pembuluh darahnya cepat.
Dua puluh menit, dan mereka memasiki kawasan Bandar
udara Abdul Rachman Saleh. Pesawat yang terparkir tidak bisa berangkat karena
terlalu mendung, pesawat lain ditunda penerbangannya, karena akan sulit
mendarat jika tiba di Malang dengan langit yang gelap berawan seperti sekarang
ini.
1 Januari – 11.00 pagi
“Rama?” Sekar mengangkat
wajahnya, menemukan sosok lelaki itu berdiri dihadapannya.
Setelah 48 jam kembali ke kota ini, ada satu alasan
yang mungkin akan memaksanya untuk tetap tinggal.
“Aku gak
bisa tidur semalaman, mempertimbangkan satu hal yang belum sempat aku tanyakan.
Boleh aku menikah denganmu?”
Semua mata penumpang yang tercecer di teras bandara
memandang pada Rama, sebagian dari mereka tersenyum. Tapi ada juga menunggu
apakah sang perempuan akan memberikan jawaban yang mereka inginkan.
Sekar hanya tersenyum, kali ini Rama memaknai sendiri
maksud senyuman Sekar, Sekar Janur.
***
ditulis untuk #NulisKilat bersama PlotPoint dan Bentang.
Catatan : Wisma Tumapel adalah bangunan lama yang kondisinya sekarang ini tidak difungsikan. Tapi beberapa kegiatan masih sering memanfaatkan bangunan tua ini.
Photo diambil oleh Chiquita, saat sedang ada kegiatan pengambilan gambar di Wisma Tumapel.
Catatan : Wisma Tumapel adalah bangunan lama yang kondisinya sekarang ini tidak difungsikan. Tapi beberapa kegiatan masih sering memanfaatkan bangunan tua ini.
Photo diambil oleh Chiquita, saat sedang ada kegiatan pengambilan gambar di Wisma Tumapel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar