do not piracy!

do not piracy!
this blog is my creativity

Selasa, 31 Desember 2013

novela : #NulisKilat bersama PlotPoint dan Bentang

#NulisKilat

Judul  : Malang dalam Cinta 48 Jam

30 Desember – 10.00 pagi
Shinta memijit dahinya kuat-kuat, rasa sakit yang tak bisa diabaikannya membuatnya lama duduk terdiam dalam sendiri di sudut bangku tempat parkir. Ada rasa yang tak bisa diabaikannya, tapi lebih besar lagi rencana dalam otaknya yang belum sepenuhnya terlaksana, dan dia masih menyusun bagian lainnya ditengah sakit kepalanya yang mulai mengganggu.
Mbak Shinta perlu obat? Jamal si tukang parkir menghampirinya, Shinta hanya menggeleng. Dia bahkan tidak sanggup mengangkat wajahnya hanya sekedar untuk mengucapkan terimakasih untuk sebuah penawaran yang tulus.
Kenapa gak istirahat dulu aja Mbak? Jamal menyodorkan botol air mineral yang belum dibuka pada Shinta. Shinta menerimanya, sambil mengernyitkan dahinya, menahan sakit kepala.
Masih banyak kerjaan. Shinta menjawab sekenanya.
Tapi acara besarnya kan baru besok, Mbak. Jamal lalu kembali ke pekerjaannya, setelah melihat Shinta meminum setengah isi botol air mineralnya.
Seorang perempuan muda muncul dari arah tangga. Di pundaknya sebuah tas laptop menggantung, dan dalam dekapannya setumpuk buku tampak cukup berat untuk dibawanya sendiri. Dia menghampiri Shinta, meletakkan buku-buku besar itu dan menghembuskan nafas lelahnya sekaligus.
Kamu masih sakit? Karina, kawan, sahabat, rekan kerja Shinta, sekaligus asisten dari sang kakak, menyapanya.
Gak pa pa, kita janjian jam berapa? Shinta memandang wajah Karina sesaat, lalu melanjutkan memijit dahinya kuat-kuat.
Jam dua belas. Karina melirik jam tangannya.
Kita makan siang dulu aja kalau gitu? Shinta mencoba mencari solusi, tapi tiba-tiba ponsel Karina bordering.
Bos. Karina memberi tahu Shinta, lalu segera menjawab panggilan itu.
Ya. Meetingnya ditunda setelah tahun baru. Iya, tadi saya di telpon Kei. Baik. Saya mau makan siang. Ya. Baik. OK.
Karina menyimpan kembali ponselnya di saku jaket. Lalu dia mengeluarkan kunci mobil dan memanggil Jamal. Meminta tolong untuk mengangkatkan setumpuk buku yang dibawanya tadi. Lalu setelahnya dia menyimpan laptopnya di dalam mobil si bos.
Kita pergi sekarang? Shinta masih duduk diam di bangkunya, Karina tidak mencoba menawarkan apapun. Menjadi sahabat kadang kata kuncinya cuma satu. Diam.
Makan siang dimana? Shinta menjawab pertanyaan Karin dengan pertanyaan juga.
Dimana aja, toh tempat makan ada banyak. Tapi kalau kamu menawari aku, aku mau ke Juminten. Katanya ada menu baru yang enak disana.
Jauh. Shinta memotong.
Becak-kan banyak. Tanpa diperintah Karina menyebran jalan, dan menyapa tukang becak yang mangkal di dekat hotel, diseberang gedung tempat kerja mereka.
Ayo. Karina menggamit lengan Shinta, dan mengajaknya naik becak.


30 Desember – 11.30 siang
Perempuan dengan pakaian modis seperti itu, cukup jarang ditemui di jalanan kota Malang. Dia sedang berjalan kaki menyeberangi jalan besar dengan langkah mantap dengan sapatu hak tingginya, dan tentu saja dia menjadi pusat perhatian. Dia melanjutkan perjalanannya menuju Java Dancer Kafe yang berada diseberang tugu balai Kota Malang. Salah satu taman terbaik yang ada di kota Malang, taman dengan bunga warna-warni yang melingkari sebuah tugu yang dikelilingi kolam dengan banyak teratai di permukaannya.
Topi putih berpayung lebar itu menyembunyikan wajah ayunya, rambut hitam legam yang tergerai panjang melewati punggung, menunjukkan betapa perempuan itu benar-benar merawat dirinya dengan sangat baik.
Sampai di Kafe yang bernuansa Jawa itu, si perempuan duduk di satu sudut dekat meja bar. Bukan tanpa alasan dia memilih meja dengan empat kursi, dia datang ke Kafe itu memang untuk bertemu dengan seseorang, yang kemungkinan besar tidak datang sendirian. Pelayan menyuguhkan daftar menu, tapi dia menolaknya, sambil melepas topi dan kaca mata hitamnya.
Coffee latte, jangan dikasi gula ya. Dia tersenyum, dan pelayan mengangguk, lalu pergi.
Tidak ada gadget terkini, tidak ada benda yang menyibukkannya, perempuan itu lalu meminta Koran hari ini pada pelayan, dan sebuah Kompas, Jawa Pos, dan dua majalah ikut disertakan si pelayan.
Terima kasih. Jawabnya, dan dia mulai menikmati halaman-halaman berita.
Tepat pukul dua belas, setelah pelayan mengantarkan pesanannya,  dia menutup halaman terakhir Koran yang dibacanya. Dua perempuan muncul dengan setengah tergesa, menghampirinya.
Mbak yu, sudah lamakah? Shinta menghampiri perempuan yang disapanya Mbak yu itu.
Nggak, tadi jalan-jalan sebentar di tugu, habis itu kesini, ngopi. Baca koran. Jawab perempuan itu, dan kemudian ia juga menyalami Karina.
Dari mana? Kok kayak capek gitu? Kali ini Shinta hanya tersenyum menjawab pertanyaan itu.
Makan siang, Mbak. Tadi aku sempat pusing, jadi makan siang dulu. Pas terima sms mbak, aku takutnya terlambat. Lha, wong tukang becaknya kalau dari arah lampu merah jarang. Shinta menjelaskan, dan perempuan itu hanya tersenyum dibuatnya.
Jadi, apa Rama tahu kamu undang aku ke Malang? Perempuan itu menyebut satu nama, dan Shinta hanya menggeleng.
Karina masih sibuk dengan pilihan menu ditangannya, dan sesaat merasa diajak ikut dalam pembicaraan setelah Shinta menyikutnya.
Bos, gak tau. Ini ide Shinta, Mbak. Karina mencoba tersenyum, tapi dia berusaha untuk tidak ikut campur kali ini.
Apa harus aku menetap di Malang lagi? Kalau cuma bikin ribet, ribut, dan ruwet. Buat apa? Perempuan yang dipanggil Mbak yu itu menyesap kopinya lagi, dan dia tampak ingin diyakinkan kali ini.
Sudah terlalu lama, Mbak. Dan besok Rama sudah tiga puluh lima, apa lagi yang dia tunggu. Dan kalau bukan Mbak yu, siapa lagi yang bisa meyakinkan dia? Shinta menekankan kalimatnya pada kata Rama dan Mbak yu.
Hening seketika diantara mereka, dan hanya bising jalanan disampul musik pop-jazz pilihan kafe Java Dancer yang terdengar. Shinta tidak tahu, apakah yang dilakukannya ini benar, dan keyakinannya perlahan menyurut bersama dengan ekspresi perempuan dihadapannya yang juga sedang menahan diri untuk tidak banyak bicara, tidak ingin mendebat Shinta yang pernah sangat akrab dengannya, dulu. Hampir sepuluh tahun yang lalu.

30 Desember – 18.00 menjelang malam
Gedung usaha mandiri ini dinamai OwN, memanfaatkan rangka dari bangunan lama Wisma Tumapel. Terletak di kiri bangunan Gedung Balai Kota Malang, di sudut tikungan menuju pasar bunga Splendid. Bangunan ini di desain ulang oleh Rama dan tim arsitekturnya. Mempertahankan wajah bangunan lama, tapi memberikan banyak sentuhan baru dan tetap bernuansa kolonial-tradisional. Dan jadilah bangunan tua yang dulu adalah rumah sewa ini menjadi sebuah ruang baru yang layak dijajal bagi penghuni dan tamu kota Malang.
Rama bertaruh pada prestasinya sebagai arsitek lokal saat membeli lahan itu, dan menyusun konsepnya selama hampir satu tahun. Mengumpulkan banyak sponsor, dan mengurus perizinannya yang menghabiskan banyak modal, terutama untuk membayar surveyor dan tim hukum. Rama tidak mau karyanya hanya jadi nama saja kali ini. Dan malam tahun baru besok, peresmian gedung ini akan dilaksanakan.
Undangan sudah disebar, Chef sudah di kontrak. Lima blok yang tersedia, sudah empat yang terisi. Banyak karya seniman lokal yang siap di pamerkan untuk dilelang. Beberapa bagiannya memang belum terselesaikan, masih banyak hal yang harus dilengkapi. Tapi Rama sudah cukup puas kali ini. Dua puluh empat jam sebelum acara besok, Rama sedang menikmati makan malamnya sendiri. Kafe OwN, sebuah tempat makan bernuansa klasik eropa, dengan sentuhan detail modern pada bar dan dapurnya.
Rama menempatkannya di lantai dua, karena mereka butuh tempat parkir lebih sedangkan luas lahan terbatas. Lagi pula, karena di lantai dua, mereka jadi lebih leluasa memandang jalanan kota. Satu sudut favorit Rama dan tempat itu jadi sangat eksklusif karena pemandangannya. Kamu bisa melihat tugu kota yang bersinaran di malam hari, diterangi ratusan lampu warna-warni. Dan hanya dengan memandangnya, kamu akan jatuh hati pada kota yang terkenal karena suhu rata-ratanya berada di kisaran 20 derajat celcius itu.
Ini salah satu dessert yang akan dihidangkan untuk tamu-tamu besok. Diana, Chef yang sudah di kontrak untuk semester pertama menyajikan sebuah pudding dalam gelas cantik.
Apa namanya?
Flip-flop Choco Surprise. Kamu bisa dapatkan rasa cokelat klasik, lapisan layer dengan tingkat kepekatan cokelat yang berbeda, dan sebuah kejutan pada salah satu sendokannya. Diana menjelaskannya dengan nada presentasi khas Chef. Tanpa mencicipinya, kamu seperti sudah tahu bagaimana rasa sajiannya, tapi kamu tidak akan yakin sampai kamu mencobanya di atas lidahmu.
Baiklah.
Selamat menikmati. Diana berlalu, tapi Rama belum mengangkat sendoknya, dia masih menikmati pemandangan indah yang dihadirkan sajian sederhana itu, walau Rama tahu, Diana bukan sekejapan saja meraciknya.
Seketika Rama merasakan rindu yang tiba-tiba menghampiri, dia mengingat sesuatu tentang cokelat pudding terakhir yang dinikmatinya dengan bahagia. Sangat bahagia. Dan itu sudah sangat lama berlalu.

30 Desember – 23.00 menjelang tengah malam
Sebuah pesan masuk di ponsel Shinta. Tapi Shinta sudah lama pergi tidur, lelah dan penat, juga sakit kepala yang tidak kunjung mereda pada akhirnya memaksanya untuk segera berisitirahat. Karena esok adalah hari penting, dan dia tak ingin melewatkannya.
Malam dengan gerimis, angin yang bertiup kencang terabaikan oleh Shinta. Tapi perempuan yang ditemui Shinta siang tadi, tak kunjung sanggup memejamkan matanya. Dihadapannya kertas-kertas penuh coretan bertebaran. Tidak bisa fokus, dan sulit konsentrasi.
Dia sudah terlalu lama meninggalkan kota Malang. Tempat dimana dia memulai segalanya dulu. Perpisahan kedua orang tuanya dan pilihan untuk menetap bersama ayahnya di Malang. Tidak bisa ikut ibu, karena ibu akan pergi ke Arab. Tapi ibu berpesan, belajarlah memasak dan menjahit, agar tidak terlalu terintimidasi jika menikah nanti. Ia menurut, dan setelah lulus SMK, dia kuliah tata busana. Hanya tiga tahun, dan masih banyak waktu luang, ketika akhirnya tawaran untuk melanjutkan studi professional di Jakarta datang.
Menjelajah Milan, Paris, sampai Los Angeles. Dan saat dia pulang ke Malang, dia berkenalan dengan Rama. Sri Rama. Seorang Arsitek muda yang sedang merintis karirnya. Seorang pemuda dari keluarga berada yang selalu bergaya. Dia tahu Rama menyukainya, tapi dia sadar dia tidak mungkin menetap di Malang yang kecil, dia butuh ruang yang lebih luas dari hanya sebuah lingkaran kecil yang penuh kedukaan bagi masa lalunya.
Itu hampir delapan tahun yang lalu, dan sekarang. Rama adalah seorang Arsitek muda yang sudah menjejalkan karyanya di berbagai sudut kota Malang. Mengembangkan sayapnya pada skala nasional. Dan saat dia mengikuti perkembangan dunia arsitektur lewat majalah-majalah desain, selalu ada nama Rama disana. Dan Shinta memanggilnya pulang.
Dia gak pernah menghapus nama Mbak yu dari dalam hidupnya. Dia hanya bermain-main dengan banyak perempuan yang menghampirinya. Gak ada yang serius. Kata-kata Shinta berulang dalam benaknya.
Seharusnya Mbak yu tahu, tapi bahkan dia terlalu sombong untuk mengakui kalau rasa hatinya hanya untuk Mbak yu.
Kali ini dia membuang satu lembar lagi hasil rancangannya. Saat dia sedang tidak bisa tidur, jemarinya selalu menekan kuat-kuat pensil diatas kertas. Hal yang sama, yang dia tahu, sama seperti kebiasaan Rama. Karena itu dulu mereka pernah menghabiskan malam-malam bersama untuk menggambar. Dimana saja, di warung kopi, di lantai ruang kerja Rama, sampai di teras rumah sang ayah yang kini sudah dijual, karena sang ayah meninggal.
Tidak ada alasan besar untuk pulang dan menetap di Malang, Shin. Aku mungkin bisa buka toko disini, tapi untuk menetap?” Dan dia hanya menggeleng, menolak pilihan yang ditawarkan Shinta.
Aku hanya berfikir, kalau Mas Rama masih sendiri, dan Mbak yu juga. Mungkin karena Mas Rama dan Mbak yu masih sama-sama menunggu.”
Siang itu, menjelang sore. Dia ingin membenarkan apa yang ada dalam pikiran Shinta. Tapi bahkan ia tidak pernah sanggup mengakui dalam hatinya. Apakah benar cinta ini yang diharapkannya.

31 Desember – 11.00 menjelang tengah hari
Rama masih sibuk dengan gambar yang sedang dihadapinya, sketsa detail yang harus dirampungkannya untuk bisa mulai dikerjakan dua orang drafternya Senin depan, saat mereka mulai kembali bekerja di hari pertama setelah liburan panjang akhir tahun. Ruang kerja baru di lantai tiga sudah siap ditempati. Dan kali ini Rama masih bergeming walau Karina sibuk bolak-balik antara meja kerja Rama dan beberapa rak yang ditatanya kembali. Di isi beberapa buku arsitektur yang ditukarnya kemarin, dari kantor lama ke kantor baru. Saat yang lain libur, Karina tetap bekerja, salah satu resiko yang diambilnya dengan menjadi asisten pribadi sekaligus junior arsitek soerang yang sibuk seperti Rama.
Karin, tolong simpan gambar-gambar ini dalam file. Malam nanti kirim kan ke saya via e-mail seperti biasa. Ya… pada akhirnya Karina mendapatkan satu sapa dari bos-nya yang sangat pendiam hari ini.
Harus nanti Malam, Pak? Karina memandang tumpukan lembaran kertas yang ada di meja kerja Rama.
Oh, iya. Nanti malam kita ada acara, ya? Ya sudah. Pokoknya hari Senin harus siap, biar nanti anak-anak bisa langsung kerjakan gambar kerjanya.
Yang dimaksudkan Rama dengan anak-anak adalah tiga siswa magang dan dua orang drafter tetap yang bekerja di konsultan perencana arsitektur milik Rama. Rainbow Architecture. Kantor baru mereka sekarang ada di lantai tiga gedung usaha mandiri OwN.
Baik, Pak.
Satu lagi. Rama menghentikan kesibukan Karina menyusun lembaran kertas di meja.
Semua undangan sudah terkirim-kan? Rama memastikan, Karina hanya mengangguk.
Saya merasa seperti melewatkan beberapa nama. Bisa kamu pastikan orang-orang ini mendapatkan undangannya? Rama menyodorkan selembar catatan berisikan beberapa nama yang Karina bahkan tidak ingat mereka pernah jadi klien atau rekanan Rama.
Baik, Pak.
Karina melanjutkan kesibukannya, dan Rama segera beranjak dari duduknya. Merapikan diri, memeriksa tas kecilnya yang berisikan beberapa gadget penting pendukung pekerjaannya. Lalu pergi.
Jam makan siang. Karina tahu, tidak akan pernah ada perintah atau ajakan makan siang dari bos yang satu ini. Mereka seperti sudah saling paham dengan aturan dan ketentuan yang berlaku, istirahat satu jam, dan silahkan kembali bekerja. Terlambat, silahkan minta izin pada Karina atau Shinta. Kalau Karina atau Shinta pergi?
Ponsel Karina bordering. Bos mengirim pesan singkat.
-Nanti malam boleh dandan, jangan terlambat. Jadi penerima tamu juga boleh.-
Entah kenapa Karina hanya tersenyum, dia sudah tidak ingin terlalu berharap. Setelah lima tahun dan tidak diperhatikan secara khusus, Karina tahu dia tidak boleh besar kepala dengan perhatian diam-diam dari sang Bos. Lagi pula Shinta sudah memanggil pulang calon terkuat untuk Bos Rama. Namanya Sekar Janur.

31 Desember – 17.00 diakhir sore yang berawan
Semoga gak hujan. Shinta menatap langit dalam diam, dia berbisik pada dirinya sendiri.
Semua sudah siap. Diana sang Chef menghapiri Shinta.
Ya, tapi rasanya masih banyak yang kurang. Shinta hanya bergumam.
Tidak semua bisa sempurna seperti apa yang ada dalam benak kita. Dan setiap keinginan yang tidak terwujud sekarang, itu mungkin karena penundaan dari Tuhan. Diana menepuk punggung tangan Shinta.
Ya. Kalau saja Rama tidak terlalu egois. Tapi aku tidak ingin menundanya lebih lama lagi. Shinta memandang kedalam mata Diana. Mereka saling tahu, pembicaraan tentang apa yang sedang dibahas sekarang.
Shinta sudah cukup lama menyimpan keinginannya untuk menikah. Dalam satu tahun ini dia sudah menolak dua orang yang melamarnya lewat kedua orang tuanya, dengan alasan yang sama, Rama belum menikah. Dan saat seorang lagi datang, menawarkan hubungan serius pada Shinta kali ini, dia tidak ingin menolaknya. Tapi harus ada cara supaya Rama menikah juga.
Mas Rama niku tresnane karo sopo? Kalau begini terus, Shinta gak bakan menikah. Ibu ndak setuju kalau Shinta nglangkahi Mas Rama. Selain karena usia kita jauh, yo ra pantes juga, to?
Shinta mengingat kejadian satu bulan yang lalu, saat Shinta gagal mencoba mengenalkan lelaki itu pada ibunya.
Masa lalu itu gak bisa diharapkan kembali. Kalau Mas Rama ada yang suka, kenapa gak coba serius? Nuruti mau ibu yang kudu komplit bibit, bebet, bobotnya yo kesuwen. Lha yang sudah OK sama kurang lebihnya Mas Rama aja yo ditolak ibu.
Mendebat kakak sulungnya itu serasa tak berguna dan  tahun akan segera berganti. Shinta sudah hampir kehabisan nafas kesabarannya menunggu dan terus menunggu. Dan Diana yang pernah menjadi kekasih Rama saat masa SMA mengerti apa yang ada dalam pikiran Shinta di hari terakhir tahun ini. Karena terkadang, Diana juga berfikir, kenapa seorang semapan Rama belum juga menikah, menambatkan hatinya, dan menjadi seorang yang lebih sempurna dengan berkeluarga.
Rencanamu yang tempo hari, jadi? Diana memecah hening, Shinta hanya mengangguk.
Nanti dia bakalan datang. Dan mereka sama-sama menghembuskan nafas panjang, melepas segala gundah dan resah karena esok adalah esok, semua masih rahasia.

31 Desember – 20.00 acara dimulai
Beberapa tamu undangan sudah ada yang hadir, keramaian malam ini dimeriahkan oleh penampilan home band. Sebuah kelompok musik akustik yang dikontrak eksklusif oleh manajemen kafe, mereka memakai nama panggung New Bass. Sudah tiga lagu sejak pembukaan acara. Dan menu makan malam kali ini cukup beragam, dengan porsi kecil-kecil, hingga semua orang bisa mencicipi setiap sajian yang akan menjadi menu dalam beberapa bulan kedepan di OwN Kafe.
Wajah-wajah tak asing bagi Shinta menyalaminya satu-satu, teman-teman sejawat arsitek, rekanan interior, fotografer, sampai beberapa klien besar yang pernah dihadapi Shinta, datang. Tapi Rama masih belum muncul. Pesan singkat dari Shinta juga tidak dijawab. Entah dimana bos yang satu itu sedang menyepi, tapi Shinta hanya mencoba bersabar. Semoga Rama tidak berencana tidak hadir di acara pentingnya kali ini.
Sajian pembuka yang beragam dari Chef Diana sudah hampir habis, soup, salad, dan beberapa jenis roti untuk dua ratus undangan sudah ditambahkan. Menu utama malam ini ada beberapa olahan nasi, kentang, dengan protein udang, daging, dan ikan. Shinta duduk sendiri menghadap meja bar, menikmati makanannya dalam diam. Sesekali Diana menghampirinya mencoba menghiburnya walau hanya dengan senyuman.
Beberapa jam, dan keramaian menjadi lebih riuh. Seorang lelaki menghampiri Shinta, menggantungkan lengannya di pundak Shinta dan mengecup lembut pipi Shinta saat mereka saling menemukan dalam diam.
Sengaja terlambat, ya? Shinta berbisik, keramaian yang ada mengabaikan mereka.
Barusan belanja cat, besok pagi ada pekerjaan. Mereka lalu menghabiskan beberapa menit selanjutnya untuk ngobrol di sela dengan diam, menikmati musik, lalu ngobrol lagi.

31 Desember – Menit-menit menjelang pergantiah tahun
Rama muncul tiba-tiba, dia disambut dengan teriakan dan ucapan selamat dari tamu-tamu yang hadir. Prestasi besar dan hasil karya yang mengagumkan. Tepuk tangan riuh, dan lagu bahagia menjadi musik latar. Shinta memaksakan dirinya tersenyum, sesaat dia membiarkan Rama menikmati kemenangannya. Dan saat mereka meniupkan terompet bersama, Rama mengangkat gelas minumannya tinggi-tinggi untuk bersulang. Hanya saja telinganya mendengar bunyi lonceng pintu depan kafe, sesuatu yang didesainnya dengan cukup teliti, agar pelayan segera tahu jika ada tamu yang datang. Satu detik, Rama menoleh ke pintu depan dan menemukan sosok cantik itu disana.
Perempuan itu datang dengan gaun sederhana, sebuah overall berbahan satin dengan motif detail batik mega mendung. Sebuah jaket warna biru tua yang membungkus pundaknya dan masih seperti dulu, rambut hitam panjang yang terurai jatuh sampai melewati pinggang.
Selamat tahun baru!!! Teriakan riuh itu bersahutan. Tapi senyuman lembut perempuan itu menghentikan semangat Rama seketika. Tertegun.
Hai, Selamat tahun baru. Perempuan itu menyapa Rama. Mengulurkan tangannya, mengajak Rama berjabat tangan.
Selamat, ya. Ini karya terhebat dan terbaik kamu tahun ini. Semua mengakuinya, aku juga. Rama membisu, jemarinya kaku dalam genggaman, jabat erat perempuan itu.

1 Januari – Dini hari, usai acara riuh dan sepi mengganti
Sudah lebih dua jam mereka duduk berhadapan, saling tatap dalam diam. Rama lebih banyak membisu, dia minum dua gelas kopi untuk membunuh kantuknya, demi memandang wajah ayu yang tak berubah itu. Sudah hampir delapan tahun, dan kali ini dia disana.
Kamu, kapan menikah? Perempuan itu mengejutkan Rama dengan pertanyannya kali ini.
Siapa yang mau menikah dengan bujangan tua seperti aku? Rama menyesap kopinya lagi.
Kamu sudah mapan dan sukses sekarang, tidak mungkin tidak ada perempuan yang tertarik padamu. Kali ini Rama hanya tersenyum.
Memangnya jatuh cinta itu gampang? Rama memandang tugu kota yang bersinaran, dia sedang mencoba mengingkari, tapi hatinya tidak setuju dengan usahanya kali ini.
Bukannya kamu selalu jatuh cinta pada apa saja.
Tapi bukan siapa saja. Potong Rama cepat.
Bahkan pudding coklat yang penuh kejutan ini juga tidak bisa membuatmu jatuh cinta? Perempuan itu, sekali lagi menyendok puddingnya.
Rasa cinta itu bukan sesuatu yang mudah sekarang, Sekar. Rama menyebut namanya, dan perempuan itu mengangkat wajahnya, menatap kedalam mata Rama.
Terutama sejak kamu pergi. Rama menghela nafasnya.
Semua jadi semakin tidak mudah, karena aku tidak tahu bagaimana cara memintamu kembali. Rama mengatakannya dengan sangat jelas.
Bahkan Shinta yang sedari tadi menyimak obrolan mereka dari jauh, mengangkat kepalanya dari meja seketika, kantuknya hilang mendadak.
Aku tidak punya alasan untuk kembali ke Malang, sejak ayah meninggal, dan cita-citamu yang kamu paparkan sama sekali tidak bisa menjadi cita-citaku, aku tidak punya apapun yang bisa membuatku tetap tinggal disini.
Dingin dini hari awal tahun baru ini mendadak menusuk hingga kedalam tulang dan menjelajahi sum-sum tulang bersama rasa ngilu yang menyakitkan bagi Rama. Wajah Sekar yang tak menunjukkan ekspresi khusus membuatnya merasa semakin bersalah sekarang. Salah karena tidak pernah mengejar Sekar, salah karena membiarkannya pergi, salah karena tidak pernah berusaha menemukannya.
Acara keramaian di lingkaran tugu kota sudah selesai, semua mendadak menjadi hening dan sunyi. Walau masih ada musik dari pengeras suara kafe, tapi gambaran suasana hati antara Rama dan Sekar tidak seindah alunan musiknya.
Aku tidak mungkin menetap disini. Karena aku juga tidak punya alasan untuk tetap tinggal. Semua kenangan itu, biar jadi catatan masa lalu. Melangkahlah, dan temukan seseorang yang bisa menggantikan aku. Itu bahkan jauh lebih baik untukmu. Juga untuk Shinta.
Sekar beranjak dari duduknya, dia bersiap pergi.
Itu alasanmu? Shinta? Rama memandang langit malam yang perlahan mendung.
Setiap orang punya alasan untuk datang dan pergi, kali ini aku datang karena Shinta. Tapi aku tidak akan jadi bagian dari masa depanmu karena Shinta. Kamu berhak punya pilihan. Kalau kamu memang tidak ingin menikah, tolong berikan kesempatan pada Shinta. Setidaknya didepan ibumu. Kasihan kalau perempuan terus dibiarkan menangis.
Sekar meninggalkan kursinya. Dia menghampiri Shinta yang tampak seperti menahan airmatanya.
Aku harus pulang sekarang. Pesawatku nanti agak siang. Terima kasih sudah mengundangku datang. Sekar melingkarkan lengannya di pundak Shinta mereka berpelukan dalam diam.
Titip Shinta, ya. Sekar memandang wajah lelaki yang ia tahu itu adalah kekasih Shinta, tapi mereka belum berkenalan, Sekar tidak tahu siapa namanya.
Terima kasih Mbak yu. Shinta tak sanggup menahan air matanya.
Jadilah lebih kuat, karena kamu dia masih bisa berdiri.Sekar mengecup pipi Shinta dan dia pergi.
Dini hari, gerimis, dingin, dan sepi. Shinta menangis dalam sendirinya, kekasihnya hanya mampu memeluknya dalam diam. Shinta tidak tahu Sekar pergi juga dengan air mata. Air mata penyesalan karena ternyata lelaki yang ditunggunya tidak juga mengejarnya hingga langkah terakhirnya di gedung itu.

1 Januari – 08.00 pagi
Sekar sudah duduk di bangku teras Bandara Abdul Rachman Saleh. Penerbangan yang seharusnya jam 9 pagi, terpaksa harus tertunda karena masalah ini itu yang Sekar juga tidak mau tau. Sekar menghabiskan waktu menunggunya dengan membaca koran yang didapatnya dari sopir taksi saat perjalanan ke bandara tadi.
Lumayan, Mbak. Buat mengisi waktu nunggu, kadang memang suka gitu pesawat dari Malang, delay-delay. Sopir taksi itu mencoba ramah pada Sekar, tapi Sekar hanya tersenyum, dia sudah sangat jarang beramah-tamah pada orang yang tak dikenal.
Di sisi lain kota yang sedang hening, gerimis, banyak yang jadi malas keluar rumah. Selain Karena semalam suntuk menunggu pergantian tahun, saat pagi datang mata masih mengantuk. Ada juga yang beralasan ingin tidur satu tahun, tapi bahkan Rama belum berhasil memejamkan matanya sejak Sekar meninggalkannya dini hari tadi.
Ibunya sudah mengetuk pintu kamar Rama beberapa kali, tapi tetap tidak ada jawaban.
Mas-mu kenapa to, Nduk? Sang ibu akhirnya bertanya pada Shinta yang sedang menonton televisi.
Gak tau, mungkin masih tidur. Shinta menjawab sekenanya.
Tambah umur kok gak tambah dewasa, kalau ngambek kok yo masih saja suka ngurung diri di kamar. Sang ibu mengeluh, tapi segera berlalu. Shinta tidak mencoba menyanggah apa lagi menjawab. Dia mematikan televisi dan menuju pintu kamar Rama.
Mas, boleh masuk gak? Shinta bertanya, sekitar sepuluh hitungan, pintu kamar Rama terbuka sedikit. Shinta masuk, dan menemukan wajah kusut Rama.
Belum tidur ta?Shinta duduk di dekat jendela kamar Rama, jendelanya menghadap ke halaman belakang, tempat mereka biasa menghabiskan waktu berkebun bersama ibu.
Gak bisa tidur? Shinta masih melanjutkan pertanyaannya, gerimis mengundang banyak pertanyaan di otak Shinta.
Mas Rama beneran gak pingin nikah? Sulit jatuh cinta lagi? Bahkan sama Mbak Sekar? Shinta masih bertanya, tapi pandangannya tetap pada pemandangan hujan dibalik jendela.
Kamu terlualu banyak berfikir, Mas. Dan itu membuat ibu menangis. Akhirnya Shinta menemukan wajah Rama, yang sedang diam membisu, duduk memandang sebuah bingkai foto dipangkuannya.
Shinta menghampiri Rama, kali ini dia menemukan foto dengan wajah bahagia itu disana.
Semua waktu yang berlalu, semua usaha keras membangun keberhasilan itu, bahkan tidak membuatnya tertarik untuk tetap tinggal. Rama bergumam.
Mas Rama gak memintanya untuk tinggal. Mas Rama bahkan masih mencari celah kesalahan dari apa yang dibicarakan Mbak Sekar. Tidak bisa mengalah dan bicara jujur, Mas Rama pun masih mengingkari rasa hati Mas Rama pada Mbak Sekar. Shinta menjatuhkan kepalanya di pundak Rama.
Tidak semudah itu. Aku memang menunggunya, tapi aku tidak yakin apa mampu menjaganya.  Rama mengingat pembicaraan yang dulu.
Aku masih menata kehidupanku, aku belum seperti kamu yang sudah menemukan dunia dan jalanmu.
Kalau kamu berfikir tentang kemapanan, sampai kapanpun kamu tidak akan merasa cukup. Sekalipun keberhasilanmu sudah dipandang setinggi langit.
Ya, karena itu aku tidak tahu, apa aku sanggup menjagamu nanti.
Kamu tidak perlu menjagaku, aku yang akan menjagamu kalau kamu mau.
Tapi tugas laki-laki menjaga perempuan.
Sekar hanya terdiam saat itu, dan dia tahu Rama sudah tidak ingin dibantah lagi. Mereka akhirnya berusaha saling menjaga perasaan, dengan diam. Sampai akhirnya Sekar yang membuat keputusan, Pergi - tak lagi kembali.
Sebuah pesan singkat mengusik diam diantara Shinta dan Rama, Shinta meraih ponselnya dan menemukan satu pesan dari Karina.
-Pesawat Mbak Sekar delay. Kira-kira, masih ada kesempatan kalau kamu mau sedikit lagi berusaha.-
Shinta menutup ponselnya, dia segera beranjak dari duduknya, meraih jaket Rama yang tergantung dibalik pintu kamar.
Mana kunci mobil? Shinta menarik Rama dari duduknya.
Mau kemana? Rama berusaha mengelak dari ajakan Shinta.
Mengejar mimpi dan masa depanmu. Shinta mendorong Rama keluar dari kamar, sang ibu memandang bingung kelakuan anak-anaknya.
Nyaopo to?”
Shinta mau anterin Mas Rama sebentar, Bu.
Dan mereka segera berangkat, menembus gerimis, membelah sepinya jalanan. Tidak cukup jauh, tapi tidak terlalu dekat. Perjalanan menuju Bandara kali ini seperti cepat bagi Shinta. Dia tahu, Rama dan Sekar saling menginginkan. Tebakannya tidak salah, dua orang itu saling menunggu, hanya saja yang satu keras kepala, yang satu lagi terlalu tinggi harga diri. Shinta mempertahankan adrenalin yang mengisi pembuluh darahnya cepat.
Dua puluh menit, dan mereka memasiki kawasan Bandar udara Abdul Rachman Saleh. Pesawat yang terparkir tidak bisa berangkat karena terlalu mendung, pesawat lain ditunda penerbangannya, karena akan sulit mendarat jika tiba di Malang dengan langit yang gelap berawan seperti sekarang ini.

1 Januari – 11.00 pagi
Rama? Sekar mengangkat wajahnya, menemukan sosok lelaki itu berdiri dihadapannya.
Setelah 48 jam kembali ke kota ini, ada satu alasan yang mungkin akan memaksanya untuk tetap tinggal.
Aku gak bisa tidur semalaman, mempertimbangkan satu hal yang belum sempat aku tanyakan. Boleh aku menikah denganmu?
Semua mata penumpang yang tercecer di teras bandara memandang pada Rama, sebagian dari mereka tersenyum. Tapi ada juga menunggu apakah sang perempuan akan memberikan jawaban yang mereka inginkan.
Sekar hanya tersenyum, kali ini Rama memaknai sendiri maksud senyuman Sekar, Sekar Janur.

***

ditulis untuk #NulisKilat bersama PlotPoint dan Bentang.

Catatan : Wisma Tumapel adalah bangunan lama yang kondisinya sekarang ini tidak difungsikan. Tapi beberapa kegiatan masih sering memanfaatkan bangunan tua ini.
Photo diambil oleh Chiquita, saat sedang ada kegiatan pengambilan gambar di Wisma Tumapel.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar