do not piracy!

do not piracy!
this blog is my creativity

Senin, 02 Desember 2013

novela : 2 Desember 2013

Langit berawan kelabu, matahari tak tampak sinarannya. Ini hari kesekian dalam beberapa minggu terakhir, dimana sulit sekali mendapatkan cerah untuk sedikit mencuplik semangat hari baru. Semuanya berwarna sendu, terlebih jika gerimis datang bersama di awal pagi. Mengangkat tubuh dari pembaringan serasa menghadapi puluhan karung beras yang berkwintal-kwintal.

Hanya saja hari ini sudah ada rencana yang tercatat di kalender, sebuah pesan singkat yang digoreskan Tasya saat kali terakhir dia berkunjung kemari liburan semester yang lalu.

"Kamu harus jemput aku di bandara, sebelumnya jangan lupa masakkan aku makaroni panggang buatanmu. Terus dari bandara, kamu harus antar aku ke rumah Adit, dia harus tahu aku serius dengan hubungan jarak jauh ini." Tasya melingkari angka dua pada bulan Desember kalender mejaku sambil terus bicara tentang banyak hal antara dirinya dan Adit.

Sejauh yang aku pahami hingga hari ini adalah Adit masih sedikit malu, atau mungkin sungkan pada Tasya. Adit adalah adik sepupuku, anak tunggal dari tante Ninda adik papa. Dia sudah selesai dari kuliah pendidikan dokternya, dan sekarang sedang menjalani masa koas di rumah sakit. Jadi dia masih jauh dari gambaran sukses seperti yang dia tahu tentang kehidupan Tasya. Seorang model internasional yang baru saja menyelesaikan program master desainnya di Paris.

Ponselku mendadak berbunyi, sebuah pesan masuk.
*pesawat berangkat sepuluh menit lagi, jangan lupa makaroni panggangnya dibawakan, ya. bunch of love.*

Aku hanya tersenyum membaca pesan singkat itu.
*OK*
Hanya itu balasan dariku, dan segera saja aku beranjak dari kasurku, menggulung rambutku dan pergi kedapur untuk memanaskan makaroni panggang yang sudah aku selesaikan malam tadi sebelum tidur.

Sambil berjalan kedapur, aku menekan nomor Adit di ponselku, beberapa kali nada panggil dan suara kasur diseberang sana menjawab.

"Ngapain bangunin aku pagi-pagi?"
"Hari ini jaga jam berapa?" Jawabku dengan tanya.
"Jam dua belas, ruang anak."
"OK, aku ada perlu sesuatu, nanti aku jemput sekalian aku antar jaga, ya."
"He em."
Dan seketika panggilan terputus, aku rasa Adit baru pulang dari rumah sakit. Kalau sudah koas, apapun bisa terjadi. Tidak tidur malam sampai tidak pulang tiga hari.

Adit selalu serius dengan apa yang jadi pilihannya, karena itu begitu kali pertama Tasya mengenalnya rasa simpati itu langsung menempel dibenaknya.

"Tau gak sih, anak kuliahan jaman sekarang itu hobi pacaran, keluar dugem, happy-happy, gak mau tahu orang tuanya kerja keras buat sekolahin mereka. Prestasinya gitu-gitu aja."
"Adit gak gitu, kok." Sanggahku pada pernyataan Tasya.
"Karena itu, kayaknya dia cocok deh sama aku."
"Ngawur kamu. Usia kamu tuh jauh sama Adit."
"Memangnya kenapa? Aku kan masih tetap imut-imut. Lagi pula, tiga tahun itu gak terlalu banyak, kok." Tasya melakukan pembelaan.

Pertemuan tidak sengaja itu terjadi saat libur semester tahun lalu. Adit sedang nginap dirumahku, dan Tasya yang tiba-tiba muncul dengan alasan ada undangan pemotretan di Jakarta menyempatkan diri untuk mampir menemuiku.
Dan sejak hari itu, Tasya melakukan banyak cara untuk melakukan pendekatan pada Adit. Adit yang sederhana dan lugu, kadang masih suka asal dalam berpenampilan. Bahkan sering kali dia menyeretku menemaninya memilih setelan yang pas untuk tugas jaganya.
"Masa teman-teman cewekku bilang aku norak pakai ini?" Hari itu satu kali sepulang dari rumah sakit dia mengeluh padaku. Kemeja warna pink dan celana bahan warna biru tua yang dikenakannya membuatnya jadi tampak sangat 'kadaluarsa'.
"Jadi, maunya?" Aku menahan senyum memandang penampilannya.
"Lagi pula, sebenarnya baju papa ini memang kebesaran buat aku. Ya, kan?"
Dan aku tahu, dari mana dia mendapatkan baju formal pertamanya untuk jaga hari itu.

Walau anak tunggal, Adit memang tidak pernah dimanja oleh tante Ninda. Papanya sudah lama meninggalkan rumah, tapi kehidupannya masih terus dibiayai, terutama urusan sekolah. Tante Ninda masih menyimpan banyak barang suaminya dengan rapi pada satu ruangan, yang dibilang Adit adalah 'ruang berdoa mama'.

"Ayo belanja."
"Serius?"
Adit sangat senang hari itu, apa lagi dia memang tidak pernah punya anggaran khusus untuk penampilannya. Kalau kerumah dia akan menculik kaos Bang Dika, kakak sulungku. Kadang dia akan memanfaatkan Yuda untuk meminjaminya beberapa baju selama menginap dirumahku. Yuda adalah adikku yang masih SMA.
"Kamu perlu kemeja, celana, hm... nanti aku carikan obralan dasi juga."
"Asik, tapi nanti kalau over limit, tagihannya ke mama aja, ya." Dia menyipitkan matanya, itu adalah salah satu kode khususnya yang memintaku untuk mengajukan tambahan biaya kehidupan pada tante Ninda.
"Gampang."

Setelah pertemuan pertama dengan Tasya hari itu, memang banyak yang berubah. Adit jauh lebih rapi dalam berpenampilan, pilihan modenya cukup berselera, dan dia jadi jauh tidak kolokan atau sok manja-manja padaku lagi. Hidup dengan banyak laki-laki disekitaranku, kadang membuatku merasa ada yang hilang jika satu dari mereka mulai memilih perubahan yang signifikan.

Bang Dika yang sibuk bersama papa di kantor, Yuda yang lebih sering keluar untuk les, main bola, atau bahkan menginap di rumah temannya. Dan sebenarnya cukup mengherankan bagi mamaku sendiri, kenapa aku tidak punya kekasih sampai hari ini.


*bersambung*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar