____
“Kamu pergi ke rumah dia kan
kemarin!”
“Pergi? Aku di rumah seharian, maksud kamu apa?”
“Udah gak usah bohong, Rin udah ngaku kok sama aku, kamu jadian lagi kan sama dia!” Dan suara
itu membentak marah.
“Jadian? Lalu?”
Kali ini dia terdiam, menyembunyikan wajanya di balik
topi yang sudah menenggelamkan matanya, lalu wajahnya.
“Wi, kamu… kamu gak pa pa kan ?”
Seorang itu hanya berusaha meraih pundak gadis itu, tapi nona itu mengelak.
“Kamu udah bohongi aku, dan ini untuk yang terakhir. Kita bukan teman
lagi.”
Dan semua pasti bisa melihat, saat topi itu dibuka, rambut coklat
panjang yang kemudian terurai itu membuat semua mata ingin melihat wajah itu.
Langkah kakinya menjauh, rambut coklat yang terurai panjang itu mengikuti
gerakan langkah kaki yang mengayun cepat. Seharusnya mereka semua tahu, gadis
itu albino. Kulitnya yang pucat, matanya yang nyaris hijau, dan rambutnya yang
putih kecoklatan, dan kecantikan di balik topi itu, mereka tak ada yang pernah
peduli. Kecuali Tim, teman sekelas gadis itu. Ponsel di saku gadis itu
berbunyi, satu nada panggil yang dia sangat hafal walau tapa harus melihat nama
sipa yang tertulis di layarnya.
“Apa?”
“Uwi, please kamu harus dengar
penjelasanku.”
“Gak perlu, makasih.” Dan ponsel itu langsung dimatikan.
Berapa lama waktu hidup di bumi ini agar setiap yang diberi hak untuk
menjalani hari mendapatkan sesuatu yang selayaknya, sepantasnya, seadilnya.
Gadis itu hanya merasa ada yang salah dengan dia yang terlahir seperti yang
hari ini. Dulu, waktu masa-masa itu, dia punya seorang yang akan memberinya
sebuah apel merah besar ketika hatinya marah, telah terlahir seperti yang hari
ini.
“Bukan masalah karena apelnya merah, kalau dikupas isinya juga putih,
kehijauan malah. Tapi kalau terlalu lama didiamkan pasti menghitam. Bukan
masalah kalau kamu tidak terlihat seperti mereka, kelak kamu pasti akan temukan
sahabat yang tidak hanya melihatmu karena warnamu, tapi karena harummu.” Hanya
itu, hanya dengan kalimat itu maka dia akan kembali belajar tersenyum dan
memadamkan segala macam api amarah dihatinya, lalu kembali mengalir menjalani
hari-harinya seperti yang seharusnya.
Hari itu, hari pertama sekolah, dan memang rambut putih kecoklatan itu
tampak sangat mencolok jika tidak sedang memakai topi, ditambah lagi pita merah
yang harus bagi semua siswi baru dengan rambut lebih sebahu. Dan rambut itu
panjang terurai, dihiasi beberapa pita merah yang cantik.
“Nama?”
“Dwi Kartika.”
“Panggilan?”
“Wi, mmm… Uwi.”
“Kenapa gak dipanggil Tika?”
“Maaf, tapi nama itu sudah pasaran kata mama. Lagi pula itu nama belakang
semua anak perempuan di rumah.”
“Eka Kartika, Dwi Kartika, Tri Kartika?”
“Ya, begitulah.” Dia hanya mengangkat bahunya menyerah, tebakan yang
tepat.
“Dan cuma kamu yang albino?” Kali ini wajah itu mengangkat alisnya.
“Yang pasti dari semua anak yang ada di rumah, sepertinya hanya tampak
pada saya, Pak!” Kalimat terakhirnya.
“Kamu cantik dengan pita merah itu. Selamat datang di dunia SMU. Semoga
kamu menikmatinya.”
Itu bukan penyambutan yang buruk, dan Uwi sudah biasa menerima sambutan
seperti itu. Tapi, ketika seorang yang lain, seorang yang tiba-tiba datang,
duduk di sebelahmu dan menceritakan masalahnya, bahkan tanpa pernah menyebutkan
siapa namanya, akankah kamu tidak merasa perlakuannya sangat berbeda?
“Menyebalkan, memang cuma dia aja yang cantik, banyak lagi manusia
cantik, sebut-sebut gondrong lagi, menyebalkan!”
“Maaf, tapi rambut kamu memang terlalu panjang.”
“Gak bakal kalau udah kuliah, dan gak akan ada yang protes karena
rambutku keren.” Dia mengibaskan rambutnya.
“Tapi sepertinya lebih keren kalau kamu putong cepak.”
“Heran, kenapa banyak yang menyarankanku seperti itu?” Dan kali ini dia
menoleh, dan cukup shock ketika menemukan Uwi di sebelahnya.
“Hai, aku Uwi. Kamu?” Gadis itu menatap ragu.
“Tim. Gak usah tanya nama lengkap.” Dan dia membetulkan posisi duduknya.
Satu tahun berlalu, mereka hanya teman, Uwi dan Tim. Tapi Uwi tahu Tim
masih menyukai gadis itu, seseorang di kelas sebelah, namanya Karin, seorang
gadis dengan kulit putih dan rambut yang hitam, bukan albino.
“Oh, kamu yang sebangku sama Tim, ya? Titip dia, ya. Dia masih marah
soalnya aku ikut kompetisi itu.” Gadis itu menghampiri Uwi di kantin.
“Kenapa harus marah?” Uwi bertanya tak mengerti.
“Tim itu, tipe posessif, kalau udah gak boleh kata dia, gak bakal boleh
selanjutnya. Dan menurut dia, kecantikan bukan untuk dikompetisikan, dan
kecantikan itu adalah harta pribadi, bukan untuk publikasi.”
“Ada ya
orang seperti itu?” Uwi masih tak paham.
“Wi, kamu dicari Tim.” Temannya yang lain memanggil.
“Kamu mau main ke rumahku? Atau aku yang main ke rumahmu?” Karin
menghentikan langkah Uwi sebelum dia yang benar-benar beranjak.
“Aku aja yang ke rumahmu, sms aja alamatnya. Nanti hari minggu aku main.”
Pertemanan memang bukan alasan yang tepat untuk menutupi sebuah perasaan,
dan entah Uwi yang terlalu polos atau karena dia memang tidak pernah memahami
orang lain selain dirinya.
“Sini, aku dandanin.” Karin membawa Uwi ke depan meja riasnya.
“Kamu cantik lho.” Kuas make up Karin menari di wajah Uwi.
“Tapi gak normal.” Uwi menyela.
“Kata siapa gak normal? Kamu sekolah, kamu punya teman, kamu juga bisa
tertawa karena bahagia dan menangis karena sedih kan ?”
“Tapi gak seperti kamu.” Uwi mengganti kaliamatnya.
“Cantik itu bukan seperti aku, Wi.” Dan kali ini make up itu membuat
gadis itu lebih cantik.
“Pipi yang bersemu karena make up, bulu mata yang lentik dan terlihat
tebal karena mascara, atau juga efek dari eyes
shadow di mata. Bukan cantik yang seperti itu. Dan sebenarnya Tim juga
marah bukan karena kontes itu.” Karin menghembuskan nafasnya penuh sesal.
“Dia marah karena aku bukan orang yang bisa bersyukur dengan segala yang
aku miliki, dan aku baru tahu itu, setelah aku melihatnya jalan sama kamu
kemarin. Aku baru tahu, kalau ternyata yang dia cari bukan kecantikan seperti
yang aku punya.” Dan pipi Karin basah, Uwi tak melakukan apa-apa.
“Dan waktu aku bilang pada Tim, aku akan jadi cantik untuk dia. Cantik
seperti yang sebenarnya, dia mau menerimaku lagi. Semalam kami jadian lagi.”
Dan kali ini senyuman itu mengulas bibir Karin yang nyaris pink tanpa sapuan
lipstick.
“Mau ajari aku sesuatu yang bisa buat aku benar-benar cantik?” Karin
menggenggam jemari Uwi, tapi gadis albino itu hanya menjawabnya dengan senyuman
dan sebuah anggukan.
“Teman! Teman kataku Rin, bukan pacar. Dan kamu benar-benar perusak!” Tim
menatap marah mata coklat itu, tapi dia hanya perempuan.
“Kamu tahu, Tim. Aku lebih dari teman, dan gak akan ada yang bisa
gantikan aku buat kamu. Termasuk teman sebangkumu itu!”
“Dan aku gak akan pernah jadi temanmu!” Tim berlalu meninggalkan Karin
yang tersenyum menang.
You have one
massage.
“Uwi, kamu harusnya dengar dulu penjelasanku. Aku putus dengan Karin
bukan karena apapun, bukan karena kontes-kontes yang dia ikuti, bukan karena
cantiknya, bukan karena apapun. Bahkan aku belum pernah bisa ceritakan ke kamu.
Dia nyaris membunuhku dengan menguji kesetiaanku. Lalu apa yang harus aku
pertahankan dari seorang seperti dia? Bahkan ketulusanpun dia gak punya! Kamu
tahu, Wi. Kamu jauh lebih tulus dari siapapun yang pernah berteman denganku. Bukan
karena aku selalu bisa menjawab soal matematika, bukan karena aku ketua tim
basket sekolah, bukan karena aku seorang idola di sekolah. Dan aku berteman
denganmu bukan karena kasihan, bukan karena kamu terlihat berbeda. Sudah cukup
sensasi yang ada satu tahun ini. Dan aku memang benar-benar ingin menjadi
temanmu, karena kamu punya yang mereka gak punya.”
Tit…….
Malam menjelma bersama dingin yang membekukan setiap langkah, dan mata
yang nyaris hijau itu sedang menatap langit gelap tanpa bintang dari jendela
kamarnya. Sampai lamun yang tak dirasanya itu terusik karena satu ketukan di pintu
kamarnya.
Uwi, ada yang
nyari dibawah. Kakak pertamanya itu muncul dari balik pintu.
“Siapa, kak?” Uwi tak beranjak dari duduknya.
“Cowok, cakep!” Kakaknya menyipitkan matanya.
“Suruh pulang aja.” Uwi mengembalikan tatapannya pada langit dan semakin
erat memeluk bantalnya.
“Kasihan dong, masa disuruh pulang! Di kampus kakak gak ada yang secakep
itu, lho!” Kali ini kakaknya menghampirinya di tempat tidur.
“Temuin aja bentar, ya!” Dan gandengan lembut itu membuat Uwi mengurungkan
niatnya menyuruh tamunya itu pulang.
Dan memang yang sedang menunggunya di bawah itu seorang yang
berteriak-teriak menjelaskan masalahnya lewat pesan di mesin penerima pesan
itu. Wajahnya memerah melihat Uwi menghampirinya, tak ada suara di antara
mereka. Hanya perbincangan dengan saling menatap, dan kemudian satu senyum
hadir di antara mereka.
“Siapa yang mulai?” Suara itu memecah hening mereka.
“Kamu duluan.” Uwi duduk di kursinya.
“Kenapa coba harus aku duluan, biasanya kan ladies
first.” Dan bahagia itu kembali di antara mereka.
Yang aku tahu mungkin hanya satu, persahabatan itu tak kenal warna,
apapun!
-----
haduhhh ...
BalasHapusjadi terharu bacanya :)
baca juga :
www.musikanegri.blogspot.com
kalau saya mau berteman dengan uwi, boleh? dan saya sudah ada di depan rumahnya. :-D
BalasHapus