do not piracy!

do not piracy!
this blog is my creativity

Selasa, 03 Desember 2013

novela : 3 Desember 2013

Cerpen lama, judul asli : "Warnaku" 

____


“Kamu pergi ke rumah dia kan kemarin!”
“Pergi? Aku di rumah seharian, maksud kamu apa?”
“Udah gak usah bohong, Rin udah ngaku kok sama aku, kamu jadian lagi kan sama dia!” Dan suara itu membentak marah.
“Jadian? Lalu?” 
Kali ini dia terdiam, menyembunyikan wajanya di balik topi yang sudah menenggelamkan matanya, lalu wajahnya.
“Wi, kamu… kamu gak pa pa kan?” Seorang itu hanya berusaha meraih pundak gadis itu, tapi nona itu mengelak.
“Kamu udah bohongi aku, dan ini untuk yang terakhir. Kita bukan teman lagi.” 
Dan semua pasti bisa melihat, saat topi itu dibuka, rambut coklat panjang yang kemudian terurai itu membuat semua mata ingin melihat wajah itu.


Langkah kakinya menjauh, rambut coklat yang terurai panjang itu mengikuti gerakan langkah kaki yang mengayun cepat. Seharusnya mereka semua tahu, gadis itu albino. Kulitnya yang pucat, matanya yang nyaris hijau, dan rambutnya yang putih kecoklatan, dan kecantikan di balik topi itu, mereka tak ada yang pernah peduli. Kecuali Tim, teman sekelas gadis itu. Ponsel di saku gadis itu berbunyi, satu nada panggil yang dia sangat hafal walau tapa harus melihat nama sipa yang tertulis di layarnya.
“Apa?”
“Uwi, please kamu harus dengar penjelasanku.”
“Gak perlu, makasih.” Dan ponsel itu langsung dimatikan.
Berapa lama waktu hidup di bumi ini agar setiap yang diberi hak untuk menjalani hari mendapatkan sesuatu yang selayaknya, sepantasnya, seadilnya. Gadis itu hanya merasa ada yang salah dengan dia yang terlahir seperti yang hari ini. Dulu, waktu masa-masa itu, dia punya seorang yang akan memberinya sebuah apel merah besar ketika hatinya marah, telah terlahir seperti yang hari ini.
“Bukan masalah karena apelnya merah, kalau dikupas isinya juga putih, kehijauan malah. Tapi kalau terlalu lama didiamkan pasti menghitam. Bukan masalah kalau kamu tidak terlihat seperti mereka, kelak kamu pasti akan temukan sahabat yang tidak hanya melihatmu karena warnamu, tapi karena harummu.” Hanya itu, hanya dengan kalimat itu maka dia akan kembali belajar tersenyum dan memadamkan segala macam api amarah dihatinya, lalu kembali mengalir menjalani hari-harinya seperti yang seharusnya.
Hari itu, hari pertama sekolah, dan memang rambut putih kecoklatan itu tampak sangat mencolok jika tidak sedang memakai topi, ditambah lagi pita merah yang harus bagi semua siswi baru dengan rambut lebih sebahu. Dan rambut itu panjang terurai, dihiasi beberapa pita merah yang cantik.
“Nama?”
“Dwi Kartika.”
“Panggilan?”
“Wi, mmm… Uwi.”
“Kenapa gak dipanggil Tika?”
“Maaf, tapi nama itu sudah pasaran kata mama. Lagi pula itu nama belakang semua anak perempuan di rumah.”
“Eka Kartika, Dwi Kartika, Tri Kartika?”
“Ya, begitulah.” Dia hanya mengangkat bahunya menyerah, tebakan yang tepat.
“Dan cuma kamu yang albino?” Kali ini wajah itu mengangkat alisnya.
“Yang pasti dari semua anak yang ada di rumah, sepertinya hanya tampak pada saya, Pak!” Kalimat terakhirnya.
“Kamu cantik dengan pita merah itu. Selamat datang di dunia SMU. Semoga kamu menikmatinya.”
Itu bukan penyambutan yang buruk, dan Uwi sudah biasa menerima sambutan seperti itu. Tapi, ketika seorang yang lain, seorang yang tiba-tiba datang, duduk di sebelahmu dan menceritakan masalahnya, bahkan tanpa pernah menyebutkan siapa namanya, akankah kamu tidak merasa perlakuannya sangat berbeda?
“Menyebalkan, memang cuma dia aja yang cantik, banyak lagi manusia cantik, sebut-sebut gondrong lagi, menyebalkan!”
“Maaf, tapi rambut kamu memang terlalu panjang.”
“Gak bakal kalau udah kuliah, dan gak akan ada yang protes karena rambutku keren.” Dia mengibaskan rambutnya.
“Tapi sepertinya lebih keren kalau kamu putong cepak.”
“Heran, kenapa banyak yang menyarankanku seperti itu?” Dan kali ini dia menoleh, dan cukup shock ketika menemukan Uwi di sebelahnya.
“Hai, aku Uwi. Kamu?” Gadis itu menatap ragu.
“Tim. Gak usah tanya nama lengkap.” Dan dia membetulkan posisi duduknya.
Satu tahun berlalu, mereka hanya teman, Uwi dan Tim. Tapi Uwi tahu Tim masih menyukai gadis itu, seseorang di kelas sebelah, namanya Karin, seorang gadis dengan kulit putih dan rambut yang hitam, bukan albino.
“Oh, kamu yang sebangku sama Tim, ya? Titip dia, ya. Dia masih marah soalnya aku ikut kompetisi itu.” Gadis itu menghampiri Uwi di kantin.
“Kenapa harus marah?” Uwi bertanya tak mengerti.
“Tim itu, tipe posessif, kalau udah gak boleh kata dia, gak bakal boleh selanjutnya. Dan menurut dia, kecantikan bukan untuk dikompetisikan, dan kecantikan itu adalah harta pribadi, bukan untuk publikasi.”
Ada ya orang seperti itu?” Uwi masih tak paham.
“Wi, kamu dicari Tim.” Temannya yang lain memanggil.
“Kamu mau main ke rumahku? Atau aku yang main ke rumahmu?” Karin menghentikan langkah Uwi sebelum dia yang benar-benar beranjak.
“Aku aja yang ke rumahmu, sms aja alamatnya. Nanti hari minggu aku main.”
Pertemanan memang bukan alasan yang tepat untuk menutupi sebuah perasaan, dan entah Uwi yang terlalu polos atau karena dia memang tidak pernah memahami orang lain selain dirinya.
“Sini, aku dandanin.” Karin membawa Uwi ke depan meja riasnya.
“Kamu cantik lho.” Kuas make up Karin menari di wajah Uwi.
“Tapi gak normal.” Uwi menyela.
“Kata siapa gak normal? Kamu sekolah, kamu punya teman, kamu juga bisa tertawa karena bahagia dan menangis karena sedih kan?”
“Tapi gak seperti kamu.” Uwi mengganti kaliamatnya.
“Cantik itu bukan seperti aku, Wi.” Dan kali ini make up itu membuat gadis itu lebih cantik.
“Pipi yang bersemu karena make up, bulu mata yang lentik dan terlihat tebal karena mascara, atau juga efek dari eyes shadow di mata. Bukan cantik yang seperti itu. Dan sebenarnya Tim juga marah bukan karena kontes itu.” Karin menghembuskan nafasnya penuh sesal.
“Dia marah karena aku bukan orang yang bisa bersyukur dengan segala yang aku miliki, dan aku baru tahu itu, setelah aku melihatnya jalan sama kamu kemarin. Aku baru tahu, kalau ternyata yang dia cari bukan kecantikan seperti yang aku punya.” Dan pipi Karin basah, Uwi tak melakukan apa-apa.
“Dan waktu aku bilang pada Tim, aku akan jadi cantik untuk dia. Cantik seperti yang sebenarnya, dia mau menerimaku lagi. Semalam kami jadian lagi.” Dan kali ini senyuman itu mengulas bibir Karin yang nyaris pink tanpa sapuan lipstick.
“Mau ajari aku sesuatu yang bisa buat aku benar-benar cantik?” Karin menggenggam jemari Uwi, tapi gadis albino itu hanya menjawabnya dengan senyuman dan sebuah anggukan.
“Teman! Teman kataku Rin, bukan pacar. Dan kamu benar-benar perusak!” Tim menatap marah mata coklat itu, tapi dia hanya perempuan.
“Kamu tahu, Tim. Aku lebih dari teman, dan gak akan ada yang bisa gantikan aku buat kamu. Termasuk teman sebangkumu itu!”
“Dan aku gak akan pernah jadi temanmu!” Tim berlalu meninggalkan Karin yang tersenyum menang.
You have one massage.
“Uwi, kamu harusnya dengar dulu penjelasanku. Aku putus dengan Karin bukan karena apapun, bukan karena kontes-kontes yang dia ikuti, bukan karena cantiknya, bukan karena apapun. Bahkan aku belum pernah bisa ceritakan ke kamu. Dia nyaris membunuhku dengan menguji kesetiaanku. Lalu apa yang harus aku pertahankan dari seorang seperti dia? Bahkan ketulusanpun dia gak punya! Kamu tahu, Wi. Kamu jauh lebih tulus dari siapapun yang pernah berteman denganku. Bukan karena aku selalu bisa menjawab soal matematika, bukan karena aku ketua tim basket sekolah, bukan karena aku seorang idola di sekolah. Dan aku berteman denganmu bukan karena kasihan, bukan karena kamu terlihat berbeda. Sudah cukup sensasi yang ada satu tahun ini. Dan aku memang benar-benar ingin menjadi temanmu, karena kamu punya yang mereka gak punya.”
Tit…….
Malam menjelma bersama dingin yang membekukan setiap langkah, dan mata yang nyaris hijau itu sedang menatap langit gelap tanpa bintang dari jendela kamarnya. Sampai lamun yang tak dirasanya itu terusik karena satu ketukan di pintu kamarnya.
Uwi, ada yang nyari dibawah. Kakak pertamanya itu muncul dari balik pintu.
“Siapa, kak?” Uwi tak beranjak dari duduknya.
“Cowok, cakep!” Kakaknya menyipitkan matanya.
“Suruh pulang aja.” Uwi mengembalikan tatapannya pada langit dan semakin erat memeluk bantalnya.
“Kasihan dong, masa disuruh pulang! Di kampus kakak gak ada yang secakep itu, lho!” Kali ini kakaknya menghampirinya di tempat tidur.
“Temuin aja bentar, ya!” Dan gandengan lembut itu membuat Uwi mengurungkan niatnya menyuruh tamunya itu pulang.
Dan memang yang sedang menunggunya di bawah itu seorang yang berteriak-teriak menjelaskan masalahnya lewat pesan di mesin penerima pesan itu. Wajahnya memerah melihat Uwi menghampirinya, tak ada suara di antara mereka. Hanya perbincangan dengan saling menatap, dan kemudian satu senyum hadir di antara mereka.
“Siapa yang mulai?” Suara itu memecah hening mereka.
“Kamu duluan.” Uwi duduk di kursinya.
“Kenapa coba harus aku duluan, biasanya kan ladies first.” Dan bahagia itu kembali di antara mereka.

Yang aku tahu mungkin hanya satu, persahabatan itu tak kenal warna, apapun! 

-----

2 komentar:

  1. haduhhh ...
    jadi terharu bacanya :)

    baca juga :
    www.musikanegri.blogspot.com

    BalasHapus
  2. kalau saya mau berteman dengan uwi, boleh? dan saya sudah ada di depan rumahnya. :-D

    BalasHapus