do not piracy!

do not piracy!
this blog is my creativity

Rabu, 03 Juli 2013

novela : 3 Juli 2013 [ DANIS ]

Danis memutar otaknya, harus ada cara untuk menyatakan perasaannya pada Wisnu, karena besok hari terakhir sebelum Wisnu benar-benar akan meninggalkan sekolah. Kelulusan yang menyakitkan, itu menurut Danis. Karena baru delapan bulan dia menikmati masa SMU yang katanya penuh warna, tetapi dia harus segera kehilangan cinta pertamanya yang sudah dicarinya lebih dari lima tahun ini.

Wisnu Augusta Angkasa, mantan ketua Paskibra, setahun sebelum masa jabatannya, dia sempat mengikuti pertukaran pelajar ke Madrid, dan kali ini dia lulus dengan nilai mengagumkan, walaupun sempat meningalkan sekolahnya selama satu tahun. menurut kabar terakhir Striker tim sepak bola sekolah, dan salah satu tower tim basket Bina Nusa yang walaupun bukan top scorer di banyak pertandingan itu, siap berangkat ke Sidney untuk beasiswa sekolah seni, yang sudah lama diimpikannya. 


Sedangkan menurut salah satu artikel di manding sekolah, nama Wisnu adalah yang paling sering diteriakkan dari tepi lapangan. Meskipun akurasinya fifty-fifty, bagi Danis itu cukup membanggakan, walau sedikit menjemukan. Sekilas Danis berpapasan dengan Wisnu, seseorang menyapa pangeran sekolah itu.

“Wisnu, dicari bu Arini di ruang BK.” Gadis itu namanya Sella, sempat jadian dengan Wisnu  kata gosip-gosip di Bina Nusa, tapi Danis tidak mau percaya.

“Gosip murahan.” Jawab Danis, saat Tya menceritakan tentang Wisnu yang diidolakan banyak siswi Bina Nusa.

Siang pergi, Danis menatap kosong langit biru sore ini, dia sudah tidak bisa berfikir lagi, buntu. Bahkan pertandingan main-main dihadapannya tidak cukup menarik untuk dinikmati, pertandingan perpisahan anak basket, kelas tiga lawan kelas dua. Sebagai manajer junior tim basket, berada di lapangan itu hanya sebagai formalitas. Satu detik kemudian seakan berhenti di sisi Danis, saat seseorang menjatuhkan tubuhnya dan membagi aroma keringatnya disekitar Danis.

“Nis, kok gak nonton, sih. Malah nglamun sendiri!” Suara itu memaksa Danis menoleh.

“Heh, apa, Kak?” Danis masih belum kembali ke dunia nyata sepenuhnya.

“Ini pertandingan terakhir aku di lapangan sekolah, kok dicuekin. Mikir apa, sih?” Seseorang itu memaksa Danis segera kembali ke muka bumi dengan kalimatnya.

“Hmm... gak nyuekin, kok. Cuma lagi mikir....”

“Danis tuh lagi mikir mau ngasi kado apa buat kamu, Wis!” Jerman, itu pangggilannya. Namanya Jeremy Sahara, sempat jadi teman sebangku Danis waktu masa orientasi, sayangnya Jeremy berhasil ikut seleksi siswa kelas akselerasi, jadi sekarang dia sudah kelas dua, dan beberapa bulan kedepan, dia bakalan jadi anak kelas tiga, yang paling bawel, menurut Danis.

“Ha?” Wajah itu seakan tidak percaya.

“Serius, kemaren aku gak sengaja nemu catatan belanjaannya si Danis, trus ada daftar alternatif kado buat cowok Ok, itu judulnya.” Tidak perlu dihitung sampai tiga, Danis segera beranjak dari duduknya.

“Lho, Danis!” Wisnu mengejar langkah Danis, kali ini dia berusaha dua kali menahan amarahnya yang mungkin saja tumpah menjadi air mata.

“Danis.” Wisnu berhasil meraih lengan Danis, dan menghentikan langkah cepat gadis mungil itu.

Kata Wisnu pada Danis hari itu, Danis masuk ukuran cewek mungil, dengan tinggi yang hanya 150 cm, dan tidak pernah pakai sepatu dengan hak tinggi. Apa lagi kalau berdiri di sisi Wisnu Danis tidak lebih dari pundaknya. Dan kalau Danis sendiri berada di atas timbangan badan, dia semakin merasa kecil, 40 kg. Jarang naik, malah sering turun. Selain gak pantes kalau gabung sama anak-anak basket, Danis akan semakin minder kalau harus bersaing dengan Sella yang model dan sering ikutan kontes-kontes cewek cantik.

“Aku antar pulang, deh.” Kalimat Wisnu, sekali lagi memaksa Danis menatap dengan tidak yakin.

“Aku antar pulang, ya. Udah sore.” Wisnu meyakinkan Danis, dan hanya dijawab dengan diam.

Dua puluh menit dari sekolah ke rumah Danis, seperti tidak lebih dari satu menit bagi Danis saat dia duduk digoncengan motor Wisnu. Dan semua isi otaknya tumpah saat dia berdiri di depan pagar rumahnya. Wisnu belum beranjak, dan Danis mengeluarkan agenda kecil dari tasnya.

“Apa ini?”

“Kakak baca aja, aku gak bisa ngomongnya.” Danis mencoba membalikkan badannya, tapi dia tidak ingin.

“Ya, udah. Nanti malam aku baca, besok kalau udah langsung aku balikin ke kamu di sekolah.”

“Iya.” Dan saat Wisnu menjauh bersama motornya, Danis berhasil menumpahkan air matanya.
Galaksi biru
Gambaran ruang tanpa batas
Yang kau hadiahkan untukku
Saat aku ingin memahamimu
Menjelajahi nuansa hidupmu
Dan menjadikanmu bagian hidupku
Wisnu menatap bait-bait indah yang dituangkan dalam lembar-lembar biru agenda kecil milik Danis itu. Dan akhirnya dia sampai pada halaman tentang Galaksi Biru yang ditulis Danis dengan tutur indahnya.
Biarkan saja ombak hancurkan tenangnya pantai, meskipun ada damai di bisikan nyiur. Karena aku ombaknya, ombak yang selalu berlarian, berteriak dengan deburannya. Karena aku bukan pantai. Aku yang tidak mungkin berujar selancar ombak, dengan lisanku yang hanya mampu berbisik di keramaian bumi. Tapi aku masih memiliki keberanian seperti nelayan.
“Ah...” Danis menggaruk kepalanya kuat-kuat saat menuliskan paragraf itu, dia ingin menangis tapi tak bisa, karena kalau dia sampai menangis besok pagi matanya pasti bengkak, dan seisi kelas akan semakin senang mendapatkan bahan ejekan tentang dirinya.



*bersambung*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar