#NulisKilat |
Judul : Malang dalam Cinta 48 Jam
30 Desember – 10.00 pagi
Shinta memijit dahinya kuat-kuat, rasa sakit yang tak
bisa diabaikannya membuatnya lama duduk terdiam dalam sendiri di sudut bangku
tempat parkir. Ada rasa yang tak bisa diabaikannya, tapi lebih besar lagi
rencana dalam otaknya yang belum sepenuhnya terlaksana, dan dia masih menyusun
bagian lainnya ditengah sakit kepalanya yang mulai mengganggu.
“Mbak Shinta
perlu obat?”
Jamal si tukang parkir menghampirinya, Shinta hanya menggeleng. Dia bahkan
tidak sanggup mengangkat wajahnya hanya sekedar untuk mengucapkan terimakasih
untuk sebuah penawaran yang tulus.
“Kenapa gak
istirahat dulu aja Mbak?” Jamal menyodorkan botol air mineral yang belum dibuka pada Shinta.
Shinta menerimanya, sambil mengernyitkan dahinya, menahan sakit kepala.
“Masih
banyak kerjaan.” Shinta menjawab sekenanya.
“Tapi acara
besarnya kan baru besok, Mbak.” Jamal lalu kembali ke pekerjaannya, setelah melihat Shinta meminum
setengah isi botol air mineralnya.
Seorang perempuan muda muncul dari arah tangga. Di pundaknya
sebuah tas laptop menggantung, dan dalam dekapannya setumpuk buku tampak cukup
berat untuk dibawanya sendiri. Dia menghampiri Shinta, meletakkan buku-buku
besar itu dan menghembuskan nafas lelahnya sekaligus.
“Kamu masih
sakit?”
Karina, kawan, sahabat, rekan kerja Shinta, sekaligus asisten dari sang kakak,
menyapanya.
“Gak pa pa,
kita janjian jam berapa?” Shinta memandang wajah Karina sesaat, lalu melanjutkan memijit
dahinya kuat-kuat.
“Jam dua
belas.”
Karina melirik jam tangannya.
“Kita makan
siang dulu aja kalau gitu?” Shinta mencoba mencari solusi, tapi tiba-tiba ponsel Karina
bordering.
“Bos.” Karina memberi tahu
Shinta, lalu segera menjawab panggilan itu.
“Ya.
Meetingnya ditunda setelah tahun baru. Iya, tadi saya di telpon Kei. Baik. Saya
mau makan siang. Ya. Baik. OK.”
Karina menyimpan kembali ponselnya di saku jaket. Lalu
dia mengeluarkan kunci mobil dan memanggil Jamal. Meminta tolong untuk
mengangkatkan setumpuk buku yang dibawanya tadi. Lalu setelahnya dia menyimpan
laptopnya di dalam mobil si bos.
“Kita pergi
sekarang?”
Shinta masih duduk diam di bangkunya, Karina tidak mencoba menawarkan apapun.
Menjadi sahabat kadang kata kuncinya cuma satu. Diam.
“Makan siang
dimana?”
Shinta menjawab pertanyaan Karin dengan pertanyaan juga.
“Dimana aja,
toh tempat makan ada banyak. Tapi kalau kamu menawari aku, aku mau ke Juminten.
Katanya ada menu baru yang enak disana.”
“Jauh.” Shinta memotong.
“Becak-kan
banyak.”
Tanpa diperintah Karina menyebran jalan, dan menyapa tukang becak yang mangkal
di dekat hotel, diseberang gedung tempat kerja mereka.
“Ayo.” Karina menggamit lengan
Shinta, dan mengajaknya naik becak.