do not piracy!

do not piracy!
this blog is my creativity

Rabu, 30 Januari 2019

Novela : Autumn 30012019

Musim gugur di sebuah sudut desa di Jepang. Ayah dan mama bertemu. Itu adalah alasan kenapa mereka menamaiku, Autumn Aki-yama.


Sebenarnya nama itu tidak ada jelek-jeleknya sama sekali, walau kemudian aku besar di belahan bumi lainnya, dan bertemu dengan Ryo.
.
Mau dikata salah, tapi ini bukan salah siapapun. Mau dirasa benar pun, ini tetap tidak benar.

Dulu banyak yang memanggilku dengan panggilan yang benar, Autumn. Biasanya terdengar seperti mengucap 'atum'. Itu tidak masalah. Dan Ryo? Dia dengan bangga mengganti panggilan itu menjadi Tumi.
.
Terserahlah, mau itu panggilan sayang, mau itu panggilan yang lebih mudah, atau apapun, tapi sejak itu aku jadi tidak bisa merubah mimik seriusku dihadapannya. Bahkan hingga hari ini, setelah dia resmi menjadi pacarku.
.
Rasanya wajahku kaku, bibir yang hanya bisa ditarik datar saat berhadapan dengan Ryo. Bahkan, jika dia memintaku tersenyum, itu hanya akan terjadi se-per-sekian detik, tanpa ketulusan.
.
"Tum." Kali ini dia menyodorkan secangkir teh hangat padaku.

"Terimakasih." Aku mengundurkan sedikit otot wajahku, jika dia tidak mengakhiri panggilan itu dengan huruf i.

"Besok temani ke galeri kota, ya. Ada pameran foto kawanku." Ujungnya dia menjatuhkan kepalanya dipundakku.

"Harus, ya?" Jemarinya meraih jemariku. Jurus rayuan ajaibnya.

"Kalau ada kamu, setidaknya aku gak bakal kesepian. Kamu tau sendiri, aku gak terlalu minat dengan pameran-pameran begitu." Kali ini aku melirik jam analog di pergelangan tangan kiriku yang bebas dari genggamannya.

"Aku mau asal on-time. Jam delapan malam aku sudah harus pulang." Aku meng-iya-kan ajakannya.
.
.
.
.
Tanganku sudah mulai berkeringat, bahkan gaun berbahan katun yang kukenakan sudah tak lagi terasa nyaman. Jam tanganku juga sudah bosan terus-menerus kulirik dengan marah, ditambah gelisah, dibumbui rasa frustasi yang meningkatkan volume keringat ditubuhku.
.
Entah kemana Ryo. Janji jam empat sore menjemput, sampai jam lima lebih lima belas menit dia tidak juga muncul. Ryo hampir tidak pernah molor dari janji, apalagi mangkir. Atau mungkin dia lupa jalan menuju rumahku? Tapi rasanya tidak mungkin. Lagi pula, terakhir kali dia menelpon posisinya sudah sangat dekat dari rumahku.
.
Mataku menemukan sosoknya melangkah gontai menuntun motornya di ujung jalan yang menggelap. Nafasku tercekat, namun aku urung menjadi bodoh. Cepat aku berlari menghampirinya.
.
"Maaf, rantai motornya putus." Dia mengatakannya sambil tersenyum dengan wajah yang coreng - moreng oleh oli hitam.
.
"Kenapa gak telfon?" Aku hampir saja menangis.
.
"Tadi ha-pe ku jatuh pas di jalan berlubang. Pecah." Ia menyodorkan benda pipih miliknya, layarnya remuk.
.
Kurasakan jemarinya menyentuh pipiku.
"Jangan nangis, Tumi." Mendadak rasa sedihku berubah jadi kesal. Air mata yang tidak sengaja menetes di pipi kuusap kasar.
.
.
.
.
(Bersambung)

-----

*karena saya masih mengerjakan ini sebagai draf, jadi kalau merasa "gak nyambung" disenyumin aja ya.

.phy.

8 komentar:

  1. SUerrrr. Ini bikin baper :( AKu syukaaa

    BalasHapus
  2. Aku baca nama Ryo jadi senyum2 sendiri :v

    BalasHapus
  3. Keren mbak. Aku ikutan nyes plus baver bacanya.

    BalasHapus
  4. Aaah ... ceritanya so sweet. Panggilan tumi juga terdengar imut :"3

    BalasHapus
  5. Baguuuus. Aku suka alurnya. Btw napas bukan nafas ^^

    BalasHapus
  6. Ceritanya bagus kak ^^, tetapi aku agak lucu, gara2 dipanggil tumi kaya mau ngamuk autumn nya 🔥

    BalasHapus
  7. Mungkin karena masih draf dan kepotong-potog, jadi alur ceritanya belum jelas. Tapi untuk penulisan udah bagus. Cuma kata 'meng-iya-kan' biasanya setauku nggak dipisah. Ada juga penerbit yang pake 'mengiakan'.

    Semangat nulisnya!

    BalasHapus
  8. Aku baper sampe level gigit hape di sekolah, suer baper banget!

    BalasHapus