do not piracy!

do not piracy!
this blog is my creativity

Senin, 08 Mei 2017

novela : remake - pernikahan kedua (9)

Aku menerimamu, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu.



Aku duduk di kursi roda, Syaamil mendorongku setengah tergopoh. Beberapa perawat menyambut, membantuku untuk dibantu ke ruang persiapan persalinan. Syaamil berusaha negosiasi untuk mendapatkan izin menemaniku.

“Boleh, Pak. Nanti setelah diruang bersalin.” Kudengar sekilas seorang perawat menahan Syaamil di pintu ruang persiapan.

“Sudah bukaan delapan, Bu. Kita persiapkan sekarang ya.” Bidan cantik yang masih sangat muda itu melepaskan sarung tangannya setelah memeriksaku.

“Nanti kalau dokter belum datang, bidan saja yang membantu, tidak apa-apa.” Aku berusaha mengatur nafasku. Kali ini rasanya aku sudah tidak sanggup menahan sakitnya.

“Dokter sudah dalam perjalanan, Bu. Tidak sampai sepuluh menit lagi, kok.” Dia menepuk tanganku lembut, menenangkanku.


Entah berapa menit berikutnya, aku sudah dipindah ke ruang bersalin di sebelah ruang persiapan. Dokter datang, dan dibelakangnya Syaamil menyusul. Dia meraih lenganku, aku memeluk nya erat-erat.

“Sudah, buka lengkap, ya. Nafasnya panjang-panjang, ya, Bu.” Dokter perempuan yang satu ini favorit Syaamil, dan jadi favoritku juga dikehamilan kali ini.

Aku tidak akan menceritakan rasa tulang yang remuk, atau air mata yang mendadak tumpah saat dokter bilang kepala bayinya sudah muncul.
“Pelan-pelan, Bu. Sedikit lagi.” Aku menghitung nafas dalam hati, dan sekitar hitungan ke-20, dokter sudah selesai mengeluarkan bayiku.

“Laki-laki.” Dan senyuman lega di wajah Syaamil sangat jelas kurekam.

Bayi laki-laki itu ditengkurapkan didadaku, dia berusaha meraihku dalam genggaman tangan kecilnya. Aku menyapanya dengan sukacita saat dia berhasil menemukan sumber kehidupanya yang baru.

“Assalamu’alaikum Sehran. Assalamu’alaikum, nak.” Dan air mata bahagia ini tumpah ruah.

.

Malam ini aku istirahat dengan segala kelegaan di dada. Air mata bahagia sudah surut tadi, sesaat setelah kudengar Syaamil menyuarakan adzan pada Sehran, dan membacakan doa mustajab untuk bayi yang baru lahir.

Aku tertidur cukup lama setelah proses persalinan tadi. Saat terjaga, seorang perawat membantuku membersihkan diri. Kutemukan Syaamil masih sibuk dengan laptopnya hingga aku selesai membereskan badanku.

“Kamu ada kerjaan penting, Pa?” Aku menyapanya, dia hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya.

“Aku bisa sendiri, kok. Kalau papa perlu pulang, gak apa-apa mama ditinggal dulu.” Kali ini dia menutup laptopnya dan menghampiriku.

“Mana mungkin aku ninggalin kamu. Kamu itu tanggung jawab aku.” Dia memelukku, membenamkan wajahku dalam dekapan dadanya.

“Ya, tapi kan penting.”

“Gak pakai tapi-tapi. Kalau dia gak mau nerima yang sudah aku kirim lewat e-mail, ya sudah. Toh rezeki juga gak cuma dari satu pintu.” Kali ini dia mencium pipiku kanan kiri.

“Yang satu ini adalah pintu rezeki utamaku.” Ciuman terakhir setelah dahi, dagu, adalah hidungku.

“Terimakasih sudah menemani mama tadi.” Aku mengulaskan satu senyuman, dijawab anggukan ringan.

“Tapi sekarang mama lapar.” Aku memamerkan deretan gigiku, dan dia mengusap kepalaku lembut.

“Siap.” Dan nampan yang sudah tersedia di meja, beralih kepangkuannya. “Aku yang suapin, ya.” Dia menyendokkan nasi dan kuah rawon. Aku membuka mulutku dan menikmati setiap suapannya.

“Syaamil.” Aku memanggil namanya, dia mendadak terkejut dan menatapku bingung.

“Ada apa?” Bola matanya yang coklat cerah tampak jelas dimataku.

“Terima kasih.”

“Untuk?”

“Untuk satu kesempatan yang kamu berikan …” Aku memilih kata-kata yang tepat dalam otakku.

“Kesempatan?” Air wajahnya tampak penasaran.

“Satu kesempatan untuk ada dalam kehidupanmu, dan memberimu keturunan.” Nafasku tercekat di tenggorokan, padanganku berkabut.

“Alyssa. Kamu adalah hadiah untuk aku dan anak-anak. Kamu adalah jalan terang untuk aku. Aku menerimamu, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu.” Dia meraih jemariku, menggenggamnya erat.

“Terimakasih.” Ucapku sekali lagi, dan air mata ini menetes di pipi.

“Seharusnya aku yang berterima kasih. Terimakasih, karena sudah menunjukkan warna cinta dalam kehidupanku.” Dan dia menciumi jemariku dalam genggamannya.

Aku berbisik dalam hati, “Aku menerimamu, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu. Terimakasih.”


(bagian satu - selesai)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar